JAM Pidum Kejagung Setujui Delapan Pengajuan Restorative Justice

Berita35 Views

Kejaksaan Agung Republik Indonesia kembali mengukuhkan komitmennya terhadap pendekatan Restorative Justice dengan menyetujui delapan pengajuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif pada Senin, 20 Mei 2024. Keputusan ini diambil oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana setelah proses ekspose yang melibatkan seluruh Kepala Kejaksaan Negeri dari perkara yang diajukan.

Pemahaman Keadilan Restoratif dalam Konteks Hukum Indonesia

Filosofi Restorative Justice

Keadilan restoratif merupakan paradigma baru yang menempatkan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat sebagai tujuan utama dari proses hukum. Tidak sekadar menghukum pelaku, pendekatan ini berusaha menyeimbangkan aspek keadilan formal dengan keadilan substansial yang dirasakan langsung oleh pihak-pihak terkait.

Implementasi di Kejaksaan

Melalui Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020, Kejaksaan RI diberikan kewenangan untuk menghentikan penuntutan terhadap perkara-perkara tertentu yang memenuhi unsur restorative justice. Hal ini menandai era baru dalam penegakan hukum, di mana keadilan dapat dicapai tanpa harus melalui proses persidangan konvensional.

Delapan Perkara yang Disetujui Dihentikan

Rincian Perkara dan Lokasi

Dalam ekspose yang digelar secara daring, delapan perkara dari delapan Kejaksaan Negeri yang berbeda berhasil disetujui untuk dihentikan. Beberapa lokasi yang termasuk dalam keputusan ini antara lain:

  • Kejari Cilacap
  • Kejari Kendari
  • Kejari Aceh Selatan
  • Kejari Bungo
  • Kejari Surabaya
  • Kejari Muaro Jambi
  • Kejari Lumajang
  • Kejari Purbalingga

Seluruh perkara tersebut memiliki karakteristik yang serupa: pelaku adalah masyarakat biasa, tidak memiliki rekam jejak kriminal, dan kasus yang menjerat mereka tergolong ringan serta disertai adanya perdamaian dengan korban.

Kriteria Penghentian Penuntutan

Keputusan JAM-Pidum untuk menghentikan penuntutan didasarkan pada sejumlah kriteria, seperti pelaku belum pernah dihukum, ancaman pidana di bawah lima tahun, adanya perdamaian antara pelaku dan korban, serta kerugian yang telah diganti. Ini menunjukkan bahwa hukum tidak semata-mata represif, tetapi juga dapat solutif.

Proses Ekspose dan Peran Kepala Kejari

Transparansi dan Akuntabilitas

Seluruh pengajuan restorative justice diawali dengan presentasi (ekspose) yang dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri masing-masing. Dalam forum tersebut, mereka menyampaikan latar belakang perkara, hasil mediasi, serta pertimbangan penghentian penuntutan. Proses ini memperlihatkan bagaimana transparansi dijunjung dalam setiap tahapan pengambilan keputusan.

Persetujuan JAM-Pidum

Dr. Fadil Zumhana, dalam kapasitasnya sebagai JAM-Pidum, memberikan persetujuan setelah menilai secara cermat berbagai aspek substansi perkara. Ia menegaskan bahwa prinsip keadilan tidak boleh diabaikan hanya demi formalitas proses hukum. “Hukum tidak hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk memulihkan,” tegasnya.

Signifikansi Keputusan dalam Sistem Peradilan Nasional

Membuka Jalan bagi Transformasi Hukum

Keputusan ini menjadi preseden positif dalam sistem hukum Indonesia. Semakin banyak perkara yang diselesaikan secara restoratif, semakin besar peluang masyarakat untuk mendapatkan keadilan yang humanis dan membangun kesadaran hukum berbasis empati.

Penguatan Fungsi Sosial Kejaksaan

Dengan diterapkannya keadilan restoratif, Kejaksaan tidak hanya bertindak sebagai penuntut umum, tetapi juga sebagai penjaga harmoni sosial. Peran ini menjadi penting dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, di mana konflik seringkali lebih produktif diselesaikan dengan dialog dan mediasi.

Masa Depan Keadilan Restoratif di Indonesia

Perluasan Rumah Restorative Justice

Kejaksaan Agung telah mendirikan ribuan Rumah Restorative Justice di seluruh Indonesia. Fasilitas ini akan semakin dioptimalkan untuk menjangkau lebih banyak kasus ringan yang dapat diselesaikan tanpa proses pengadilan. Ini bukan hanya strategi hukum, tetapi juga strategi sosial.

Edukasi dan Literasi Hukum Berbasis Komunitas

Ke depan, dibutuhkan peningkatan literasi hukum bagi masyarakat agar semakin banyak warga yang memahami hak dan kewajibannya dalam konteks hukum restoratif. Melalui pendekatan partisipatif, hukum akan menjadi instrumen pemberdayaan, bukan sekadar alat penegakan.

Menyelaraskan Nurani dan Hukum

Pengesahan delapan perkara oleh JAM-Pidum untuk diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif merupakan langkah progresif yang patut diapresiasi. Ini menandai komitmen Kejaksaan dalam membangun sistem hukum yang lebih adil, manusiawi, dan relevan dengan nilai-nilai sosial budaya Indonesia. Dengan terus mengembangkan paradigma hukum yang berorientasi pada pemulihan, Indonesia menempatkan hukum kembali pada esensinya: menjadi pelindung dan pembina masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *