Pada 5 Mei 2025, Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, secara resmi menyetujui satu pengajuan penyelesaian perkara tindak pidana narkotika melalui pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice. Persetujuan ini menandai babak penting dalam penerapan pendekatan hukum yang lebih humanis, khususnya bagi pelaku pengguna narkotika yang dikategorikan sebagai korban atau pecandu, bukan bagian dari jaringan peredaran gelap.
Pendekatan Restorative Justice dalam Penegakan Hukum Narkotika
Apa Itu Keadilan Restoratif?
Restorative justice merupakan pendekatan hukum yang fokus pada pemulihan kondisi sosial akibat kejahatan, dengan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat secara aktif dalam penyelesaian perkara. Dalam konteks tindak pidana narkotika, pendekatan ini tidak lagi menempatkan pelaku sebagai sekadar objek hukuman, melainkan sebagai subjek yang berhak mendapatkan pemulihan jika memenuhi kriteria sebagai pengguna atau korban penyalahgunaan narkotika.
Dasar Hukum dan Pedoman Teknis
Langkah ini sejalan dengan Pedoman Jaksa Agung RI Nomor 18 Tahun 2021 yang memungkinkan penyelesaian perkara narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif, khususnya bagi pelaku yang bukan pengedar, bukan residivis, dan tidak terlibat dalam jaringan narkotika. Pedoman ini menjadi landasan hukum yang memberikan wewenang kepada kejaksaan untuk menghentikan penuntutan terhadap tersangka dengan syarat ketat dan melalui asesmen medis serta hukum yang akurat.

Kasus yang Disetujui: A’an Rido Setyawan
Identitas dan Kronologi Perkara
Tersangka yang disetujui untuk diselesaikan melalui restorative justice adalah A’an Rido Setyawan bin Andri Hariyono, yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Kebumen. Ia disangka melakukan pelanggaran atas Pasal 112 Ayat (1) atau Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Barang bukti menunjukkan bahwa tersangka merupakan pengguna, bukan pengedar atau kurir.
Hasil pemeriksaan laboratorium forensik mengonfirmasi bahwa tersangka positif menggunakan narkotika. Namun berdasarkan hasil asesmen terpadu, A’an dikategorikan sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika yang tidak terkait dengan peredaran gelap narkotika.
Alasan Penerimaan Pengajuan RJ
Keputusan JAM-Pidum untuk menerima pengajuan restorative justice didasarkan pada sejumlah pertimbangan yang memenuhi ketentuan pedoman, yakni:
- Tersangka adalah pengguna akhir, bukan bagian dari jaringan peredaran.
- Tidak pernah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
- Tidak berperan sebagai bandar, kurir, atau produsen.
- Telah menjalani asesmen dan terbukti layak untuk direhabilitasi.
- Belum pernah menjalani rehabilitasi lebih dari dua kali.
Dengan pertimbangan ini, JAM-Pidum memerintahkan Kepala Kejari Kebumen untuk menerbitkan surat ketetapan penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif.
Implikasi dari Keputusan JAM-Pidum
Reformasi Humanis dalam Penanganan Kasus Narkotika
Langkah Kejaksaan Agung ini mengisyaratkan transformasi paradigma penegakan hukum dari pendekatan punitif ke pendekatan yang lebih inklusif dan pemulihan. Pengguna narkotika sebagai korban membutuhkan rehabilitasi, bukan kurungan. Pemulihan ini juga bagian dari upaya untuk memutus rantai kecanduan dan meningkatkan peluang reintegrasi sosial bagi tersangka.
Efektivitas dan Efisiensi Penegakan Hukum
Dengan restorative justice, aparat penegak hukum dapat mengurangi beban lembaga pemasyarakatan, mengefisienkan sumber daya penuntutan, serta mempercepat proses pemulihan tersangka. Hal ini turut mendukung agenda reformasi hukum nasional untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang cepat, murah, dan humanis.
Tantangan Implementasi Restorative Justice di Kasus Narkotika
Infrastruktur dan Koordinasi Antar Lembaga
Meski kebijakan ini progresif, implementasinya tidak lepas dari tantangan. Ketersediaan fasilitas rehabilitasi, konsistensi pelaksanaan asesmen terpadu, serta koordinasi antara BNN, kejaksaan, dan institusi kesehatan menjadi faktor kunci. Tanpa sinergi yang kuat, tujuan restoratif bisa kehilangan makna dan hanya menjadi prosedur formalitas.
Perubahan Mindset Penegak Hukum dan Masyarakat
Tantangan lainnya adalah mengubah cara pandang aparat penegak hukum serta masyarakat terhadap pengguna narkotika. Stigma sebagai “kriminal” masih kuat melekat, padahal banyak dari mereka justru merupakan korban dari ketergantungan yang berkepanjangan. Pendekatan edukatif dan pelatihan bagi aparat menjadi penting agar prinsip keadilan restoratif benar-benar diinternalisasi.
Harapan Menuju Sistem Hukum yang Lebih Berkeadilan
Persetujuan satu pengajuan restorative justice oleh JAM-Pidum dalam kasus narkotika adalah langkah kecil namun berarti dalam pembangunan sistem hukum yang lebih adil, efektif, dan manusiawi. Jika dijalankan dengan akuntabilitas dan profesionalisme tinggi, pendekatan ini dapat memperkuat legitimasi hukum di mata masyarakat dan mengubah cara negara merespons kejahatan berbasis ketergantungan.
Ke depan, keberhasilan pendekatan ini akan sangat bergantung pada konsistensi aparat, perbaikan regulasi pelaksana, dan partisipasi masyarakat luas. Restorative justice bukan hanya cara baru menyelesaikan perkara, melainkan bagian dari visi besar untuk menciptakan keadilan yang berpihak pada pemulihan, bukan sekadar pembalasan.