Azmi Syahputra: Perintah Jaksa Agung Tuntaskan Kasus HAM Berat Harus Jadi Prioritas Negara

Berita62 Views

Jakarta — Isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat kembali menjadi sorotan publik usai pernyataan tegas dari Jaksa Agung ST Burhanuddin yang memerintahkan jajarannya untuk menuntaskan kasus-kasus HAM berat yang selama ini mandek. Menanggapi hal ini, Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Dr. Azmi Syahputra, memberikan pandangannya dan menyatakan bahwa langkah tersebut harus dijadikan prioritas nasional demi menegakkan keadilan sejarah.

Komitmen Penuntasan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Kasus HAM

Pernyataan Jaksa Agung yang menginstruksikan percepatan penanganan kasus HAM berat disambut baik oleh berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan organisasi masyarakat sipil. Dalam konteks ini, Azmi Syahputra menyatakan bahwa negara tidak boleh lagi membiarkan kasus-kasus ini terbengkalai.

“Perintah Jaksa Agung untuk menuntaskan kasus HAM berat harus direspons cepat dan dilaksanakan secara menyeluruh. Ini bukan hanya soal tanggung jawab hukum, tapi juga moral dan sejarah bangsa,” ujarnya di Jakarta, Senin (26/5/2025).

Tantangan Penyelesaian Kasus HAM Berat

Azmi menilai bahwa penanganan kasus pelanggaran HAM berat seperti peristiwa Talangsari 1989, Kerusuhan Mei 1998, dan Penghilangan Orang Secara Paksa telah terlalu lama berada dalam ketidakpastian hukum. Banyak korban dan keluarga mereka yang menunggu kepastian serta keadilan yang seharusnya hadir sejak lama.

“Negara tidak boleh terus menyisakan utang sejarah. Setiap pemerintahan harus meneruskan dan mempercepat upaya penyelesaian. Jangan hanya dijadikan agenda simbolik,” imbuh Azmi.

Upaya Konkret Penegakan Instruksi Jaksa Agung

Kasus HAM

Dalam sistem hukum Indonesia, Kejaksaan memiliki posisi sentral sebagai penuntut umum dalam perkara pidana HAM berat. Azmi mendesak agar instruksi Jaksa Agung tidak hanya bersifat administratif, tetapi disertai langkah nyata di lapangan.

“Perlu dibuat roadmap yang terukur, melibatkan koordinasi lintas lembaga seperti Komnas HAM, LPSK, dan Mahkamah HAM. Jangan sampai kasus ini terhambat hanya karena tarik ulur politik atau kelemahan birokrasi,” katanya.

Penguatan Sinergi Antar-Lembaga

Azmi menekankan pentingnya penguatan sinergi antara lembaga penegak hukum dan lembaga pengawas HAM. Kolaborasi antara Kejaksaan, Komnas HAM, serta institusi peradilan harus berorientasi pada pemenuhan hak korban, bukan sekadar mengejar kepentingan prosedural.

Dorongan untuk Transparansi dan Akuntabilitas

Dalam pernyataannya, Azmi Syahputra juga mendorong adanya pelaporan berkala kepada publik agar masyarakat bisa memantau progres penanganan kasus HAM. Ia menggarisbawahi bahwa transparansi adalah kunci membangun kepercayaan publik.

“Jangan biarkan masyarakat menduga-duga. Kejaksaan harus bisa menjelaskan sejauh mana penyidikan berjalan, kendala yang dihadapi, dan apa yang sedang dikerjakan saat ini,” tegasnya.

Harapan Korban dan Keluarga: Keadilan yang Sudah Lama Ditunggu

Selama puluhan tahun, ribuan korban dan keluarganya menanti kejelasan dan pengakuan negara atas penderitaan mereka. Menurut Azmi, penyelesaian kasus HAM berat tidak hanya menyangkut hukuman terhadap pelaku, tetapi juga pemulihan hak-hak korban, termasuk hak atas kebenaran, keadilan, dan reparasi.

“Keadilan bagi korban harus menjadi fokus utama. Penyelesaian kasus HAM berat harus manusiawi dan berorientasi pada korban,” ujar Azmi. Ia juga menegaskan bahwa negara harus memberikan dukungan psikososial dan finansial bagi korban sebagai bentuk tanggung jawab moral.

Skema Reparasi yang Menyeluruh

Azmi menekankan bahwa reparasi tidak hanya berupa kompensasi finansial, tetapi juga pengakuan resmi negara, permintaan maaf, jaminan ketidakberulangan, serta rehabilitasi fisik dan psikologis bagi para korban.

“Jangan sampai penyelesaian hanya selesai di meja pengadilan. Pemerintah harus hadir secara menyeluruh untuk mengobati luka batin para korban dan keluarganya,” tambahnya.

Evaluasi terhadap Kinerja Pemerintah Sebelumnya

Azmi tidak lupa menyinggung bahwa hingga kini, berbagai pemerintahan sebelumnya dinilai gagal menyelesaikan pelanggaran HAM berat secara tuntas. Ada ketakutan akan implikasi politik, minimnya keberanian politik (political will), serta lemahnya sinergi antar-lembaga penegak hukum.

“Kalau kita melihat pengalaman masa lalu, banyak pernyataan yang sifatnya normatif. Tapi ketika masuk ke tahap implementasi, nyaris tak ada gebrakan,” kritiknya.

Dukungan dari Masyarakat Sipil dan Akademisi

Gerakan masyarakat sipil, termasuk lembaga bantuan hukum dan universitas, dinilai memiliki peran krusial dalam mendukung upaya penuntasan kasus HAM berat. Azmi berharap agar pihak-pihak ini dilibatkan lebih aktif dalam proses pemantauan dan advokasi. Baca juga tentang Sekjen PDIP: Hasto Kristiyanto yang Terjerat Kasus Korupsi.

“Kampus dan lembaga hukum harus membuka ruang diskusi publik, kajian akademik, dan memberi tekanan agar proses penyelesaian HAM berat tidak kehilangan arah dan urgensinya,” jelasnya.

Momentum Menegakkan Keadilan Sejati

Pernyataan Azmi Syahputra mencerminkan dorongan kuat dari masyarakat hukum agar penanganan kasus pelanggaran HAM berat tidak hanya menjadi agenda politik sesaat, melainkan wujud komitmen negara dalam merawat nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

Penegakan hukum yang tegas, transparan, dan berpihak pada korban adalah jalan menuju rekonsiliasi nasional yang sejati. Dan inilah saatnya Indonesia menunjukkan bahwa ia mampu menyelesaikan luka-luka masa lalunya dengan keberanian dan integritas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *