Jakarta kembali bergolak dalam isu penegakan hukum dan reformasi kepolisian nasional. Sorotan tajam kini mengarah kepada Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara dan Pengawas Anggaran Republik Indonesia (BPI KPNPA RI) yang turut bersuara keras dalam polemik seputar jabatan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Desakan untuk menonaktifkan sementara Kapolri muncul di tengah pusaran kasus besar, yaitu pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Dari ruang-ruang publik hingga pertemuan resmi di DPR RI, tekanan terhadap Polri semakin membesar. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: Mengapa jabatan Kapolri perlu dinonaktifkan sementara? Dan bagaimana BPI KPNPA RI memainkan peran strategis dalam menggiring narasi tersebut?
Kilas Balik Kasus Brigadir J dan Polri
Kasus yang menjadi biang kontroversi bermula dari peristiwa tragis pada bulan Juli 2022. Brigadir J ditemukan tewas di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo, kala itu menjabat sebagai Kadiv Propam Polri. Polri sempat mengklaim terjadi tembak-menembak antara Brigadir J dan ajudan lainnya. Namun, dalam waktu singkat, publik menemukan kejanggalan-kejanggalan yang meruntuhkan narasi tersebut.
Melalui dorongan dari masyarakat sipil, keluarga korban, media, dan tekanan berbagai lembaga negara, Polri akhirnya membentuk Tim Khusus (Timsus) yang dipimpin langsung oleh Irwasum Polri. Tim ini yang kemudian berhasil mengungkap rekayasa pembunuhan tersebut, yang ternyata melibatkan Ferdy Sambo dan sejumlah perwira tinggi lainnya.
Reaksi BPI KPNPA RI: Seruan Tegas Untuk Evaluasi
Dalam situasi penuh ketegangan tersebut, Ketua Umum BPI KPNPA RI, Tubagus Rahmad Sukendar, mengeluarkan pernyataan tajam. Ia menyampaikan bahwa kasus Brigadir J bukan hanya soal kriminalitas semata, tetapi menjadi cerminan bagaimana sistem di tubuh Polri mengalami pembusukan struktural.
“Kami melihat perlunya langkah strategis yang lebih besar dari sekadar menindak pelaku. Ini soal pemulihan kepercayaan publik terhadap institusi Polri. Salah satunya adalah dengan menonaktifkan Kapolri secara sementara hingga kasus ini tuntas,” ujar Tubagus dalam keterangan resminya.
Menakar Penonaktifan Kapolri: Antara Politik dan Etika
Desakan BPI KPNPA RI sejalan dengan sejumlah pandangan dari kalangan legislatif. Salah satu yang paling vokal adalah Benny K. Harman, anggota Komisi III DPR RI. Dalam rapat gabungan bersama Komnas HAM dan LPSK, ia menegaskan bahwa jabatan Kapolri seyogianya dinonaktifkan demi menjamin netralitas penyelidikan dan proses hukum.
Namun, pandangan ini tidak tanpa perdebatan. Beberapa pihak menilai bahwa menonaktifkan Kapolri di tengah upaya besar membongkar kejahatan sistemik justru kontraproduktif. Faktanya, Jenderal Sigit yang dinilai lamban di awal, kini memimpin langsung proses bersih-bersih internal Polri dengan mendukung pengungkapan kasus Brigadir J hingga ke akar.

Tim Khusus dan Langkah Reformasi Internal
Salah satu poin penting yang menjadi kontra terhadap desakan penonaktifan adalah pembentukan Timsus oleh Kapolri. Tim ini menjadi simbol dari keseriusan institusi dalam mengembalikan kredibilitasnya. Timsus juga mencatat kemajuan signifikan dengan berhasil menahan dan memproses hukum Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dan beberapa ajudan lain.
Langkah ini mendapat dukungan dari Presiden Joko Widodo, Menkopolhukam Mahfud MD, dan lembaga pengawas lainnya. Bahkan Komnas HAM menilai Timsus telah bekerja profesional dan transparan.
Kritik BPI KPNPA RI Terhadap DPR RI
Namun, BPI KPNPA RI tidak hanya menyoroti Polri. Lembaga ini juga secara terbuka mengkritik Komisi III DPR RI, khususnya terkait kecepatan dan ketegasan mereka dalam menyikapi kasus Brigadir J. Menurut Tubagus, suara DPR baru terdengar nyaring ketika fakta-fakta sudah disajikan secara terang oleh tim penyidik.
“DPR sebagai lembaga pengawas seharusnya menjadi yang terdepan dalam mendorong reformasi penegakan hukum. Tapi justru kita melihat sikap menunggu yang sangat mencurigakan,” pungkasnya.
Penilaian Publik Terhadap Kepemimpinan Kapolri
Dalam situasi yang semakin kompleks ini, masyarakat terbelah. Di satu sisi, ada ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Kapolri yang dianggap tidak responsif di awal kasus. Di sisi lain, banyak pula yang menilai Jenderal Sigit layak diberi kesempatan untuk menyelesaikan proses pembenahan institusinya.
Beberapa lembaga survei bahkan merilis data yang menunjukkan meningkatnya kembali kepercayaan publik terhadap Polri setelah penetapan tersangka Ferdy Sambo. Hal ini tidak lepas dari peran aktif Kapolri yang membuka ruang kolaborasi dengan lembaga eksternal dan media massa.
Isu Netralitas dan Independensi Proses Hukum
Salah satu kekhawatiran utama yang diangkat oleh pihak pendukung penonaktifan adalah soal netralitas. Apakah seorang Kapolri yang masih menjabat dapat secara objektif menindak anak buahnya sendiri yang berpangkat tinggi?
BPI KPNPA RI menyebut bahwa netralitas hukum tidak bisa dijamin ketika kepemimpinan berada dalam konflik kepentingan. Oleh karena itu, solusi penonaktifan sementara dinilai dapat menciptakan kondisi ideal bagi penyidikan yang bebas tekanan.
Namun, pandangan sebaliknya menyebut bahwa justru dengan tetap berada di pucuk pimpinan, Kapolri bisa mengawasi penuh dan menjamin tidak adanya tekanan internal dari jaringan mafia di tubuh Polri.
Harapan Reformasi Jangka Panjang
Terlepas dari polemik penonaktifan, isu mendasarnya tetaplah soal reformasi menyeluruh. Kasus Brigadir J telah membuka tabir betapa dalamnya jaringan kekuasaan gelap di balik seragam. Reformasi Polri tidak bisa hanya bersifat kosmetik, melainkan harus struktural dan menyeluruh.
BPI KPNPA RI mengusulkan beberapa langkah konkret seperti:
- Membentuk lembaga audit independen terhadap kekayaan pejabat Polri.
- Menghidupkan kembali Komisi Kepolisian Nasional yang benar-benar berwenang.
- Memperluas keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pengawasan.
Menimbang Keadilan dan Kestabilan Institusi
Kontroversi seputar jabatan Kapolri dan peran BPI KPNPA RI dalam mengangkat isu ini mencerminkan betapa krusialnya kepercayaan publik dalam negara hukum. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menciptakan keadilan substantif tanpa intervensi kekuasaan. Di sisi lain, ada urgensi menjaga stabilitas institusi yang sedang melakukan perbaikan.
Apakah langkah menonaktifkan Kapolri merupakan solusi atau justru memperkeruh situasi? Publik menantikan langkah nyata dari semua elemen bangsa—pemerintah, DPR, institusi hukum, dan masyarakat sipil—untuk bersama menjaga supremasi hukum dan integritas institusi negara.
Pertanyaannya kini bukan sekadar siapa yang harus mundur, tapi bagaimana bangsa ini bergerak menuju penegakan hukum yang berkeadilan dan tanpa tebang pilih. Karena kepercayaan bukan warisan jabatan, melainkan hasil dari keberanian, transparansi, dan konsistensi dalam menegakkan kebenaran.