Jampidum Kejagung Kabulkan Keadilan Restoratif Tersangka Rani dari Kejari Ternate

Berita29 Views

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang melibatkan seorang perempuan bernama Rani Andini Yasa di Kota Ternate mencuri perhatian publik setelah Kejaksaan Agung, melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), menyetujui permohonan keadilan restoratif yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Ternate. Keputusan ini dinilai sebagai langkah progresif dalam menerapkan pendekatan hukum yang lebih manusiawi dan berkeadilan sosial di Indonesia.

Latar Belakang Kasus dan Proses Hukum

Kasus KDRT yang Menjadi Perhatian

Peristiwa ini bermula saat Rani Andini Yasa, warga Kelurahan Kalumata, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Ternate dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada tahun 2020. Ia diduga melakukan kekerasan psikis terhadap suaminya, Gozali Setiawan, yang menyebabkan perkara ini masuk ke ranah pidana.

Pengajuan Keadilan Restoratif

Setelah proses penyidikan dan penuntutan berjalan, Kejari Ternate memandang bahwa perkara ini dapat diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif. Upaya ini diajukan ke Kejaksaan Agung sebagai bentuk penyelesaian yang tidak hanya menitikberatkan pada pemidanaan, tetapi juga pada pemulihan hubungan antara pelaku dan korban.

Pengajuan Permohonan Restoratif oleh Kejari Ternate

Dasar Hukum dan Prosedur

Permohonan keadilan restoratif ini mengacu pada Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Proses ini melibatkan mediasi antara tersangka dan korban, yang kemudian menghasilkan kesepakatan damai.

Pertimbangan Pengajuan

Kejari Ternate mengajukan permohonan tersebut dengan mempertimbangkan bahwa perdamaian telah tercapai, kerugian telah dipulihkan, serta bahwa tindak pidana yang dilakukan tergolong ringan dan tidak menimbulkan keresahan sosial yang luas.

Persetujuan dari Jampidum Kejaksaan Agung

Keputusan dan Legalitas SKP2

Pada 5 Februari 2022, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) secara resmi mengabulkan permohonan keadilan restoratif yang diajukan Kejari Ternate. Dengan adanya keputusan ini, Kejari Ternate dapat menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) terhadap tersangka Rani.

Status Hukum Rani Setelah SKP2

Dengan diterbitkannya SKP2, proses hukum terhadap Rani dihentikan dan ia tidak lagi dihadapkan ke pengadilan. Hal ini menandakan bahwa proses hukum telah mencapai penyelesaian yang adil bagi kedua belah pihak tanpa harus melibatkan sistem pemidanaan konvensional.

Pertimbangan Hukum dan Aspek Kemanusiaan

Kriteria Keadilan Restoratif yang Dipenuhi

Keputusan ini tidak hanya berdasar pada legal formal, tetapi juga memperhatikan aspek kemanusiaan. Rani diketahui belum pernah melakukan tindak pidana sebelumnya, dan ancaman hukumannya tidak lebih dari lima tahun penjara. Selain itu, kedua belah pihak telah berdamai dan menyatakan tidak ingin melanjutkan perkara ke meja hijau.

Konteks Sosial dalam Relasi Rumah Tangga

Konteks rumah tangga sering kali memiliki dimensi psikologis dan emosional yang kompleks. Penyelesaian melalui jalur hukum formal dapat memperkeruh hubungan dan berdampak pada anak serta keluarga besar. Oleh karena itu, pendekatan restoratif dinilai lebih bijak dalam kasus semacam ini.

Dampak Sosial dan Yurisprudensi

Model Penyelesaian Alternatif

Kejadian ini menjadi salah satu contoh penting penerapan keadilan restoratif di Indonesia, khususnya dalam perkara KDRT. Model ini membuka ruang penyelesaian perkara dengan cara yang lebih bermartabat dan menjaga kohesi sosial masyarakat.

Harapan terhadap Sistem Peradilan

Melalui kasus Rani, diharapkan sistem hukum Indonesia dapat lebih terbuka terhadap penerapan model penyelesaian non-litigasi yang mengutamakan keseimbangan, pemulihan, dan keadilan sosial. Hal ini juga akan mendorong pembaruan dalam cara pandang aparat penegak hukum terhadap perkara-perkara ringan.

Keadilan yang Memberi Ruang Pemulihan

Kasus Rani Andini Yasa menunjukkan bahwa pendekatan keadilan restoratif dapat menjadi solusi efektif dalam menyelesaikan perkara hukum yang melibatkan relasi personal. Dengan menitikberatkan pada pemulihan, bukan pembalasan, hukum dapat berfungsi sebagai alat untuk membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkeadaban. Langkah Kejaksaan Agung melalui Jampidum ini patut diapresiasi dan menjadi referensi dalam penanganan perkara serupa di masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *