Napi Cuci Darah di Lapas Sukamiskin: Potret Miris Kesehatan di Balik Tembok Penjara

Berita37 Views

Lapas Sukamiskin di Bandung, dikenal sebagai tempat pembinaan narapidana korupsi kelas kakap. Namun di balik dinding kokohnya, ada kisah memilukan tentang narapidana yang menderita gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah secara rutin. Sayangnya, pelayanan kesehatan yang diterima mereka sangat minim, menimbulkan keprihatinan berbagai pihak.

Realita Kesehatan Napi: Gagal Ginjal di Balik Jeruji

Minimnya Fasilitas Medis Khusus

Pelayanan kesehatan di Lapas Sukamiskin belum mampu menjawab kebutuhan narapidana dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal. Tidak ada fasilitas hemodialisa di dalam lapas, memaksa narapidana yang membutuhkan cuci darah untuk dirujuk ke rumah sakit di luar. Prosedur yang rumit, ketatnya izin, dan pengawalan menyebabkan banyak napi terhambat memperoleh hak dasar atas kesehatan.

Biaya Pengobatan yang Membebani

Walau terdapat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pelaksanaannya kerap terhambat karena administrasi berbelit. Seorang napi, Richard Latif, misalnya, terpaksa membayar sendiri biaya cuci darah hingga Rp500 ribu per sesi karena belum bisa diakomodasi oleh BPJS. Hal ini dikonfirmasi oleh eks Kalapas Sukamiskin, Giri Purbadi, yang menyebut adanya kekosongan regulasi kala itu.

Kisah Nyata: Irman Gusman dan Richard Latif

Irman Gusman: Izin Keluar Dua Kali Seminggu

Mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman, menjadi contoh narapidana yang secara rutin mendapatkan izin keluar lapas untuk menjalani cuci darah. Ia harus menjalani prosedur dua kali seminggu, yang memerlukan pengawalan ketat dan proses birokrasi dari Lapas Sukamiskin ke rumah sakit di Bandung. Hal ini memperlihatkan keterbatasan pelayanan medis bagi tahanan dengan penyakit berat.

Richard Latif: Terjebak Biaya Sendiri

Berbeda dengan Irman, Richard Latif tidak seberuntung itu. Ia harus menanggung biaya sendiri untuk mendapatkan hak hidupnya. Meski sempat ditanggung sementara oleh pihak lapas, tidak ada kejelasan jangka panjang mengenai pembiayaan cuci darah yang rutin dibutuhkan.

Dampak Psikologis dan Sosial

Stres, Depresi, dan Stigma

Kondisi fisik yang terus menurun, ditambah dengan akses layanan medis yang terhambat, menyebabkan banyak narapidana merasa terisolasi dan mengalami tekanan mental. Beberapa napi juga mengaku diperlakukan diskriminatif oleh sesama tahanan dan sebagian petugas karena dianggap ‘menyusahkan’ dengan kebutuhan medis khusus.

Hak Asasi dan Martabat Manusia

Konstitusi Indonesia menjamin hak atas kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam konteks pemasyarakatan, hak ini harus tetap diberikan tanpa kecuali. Kesehatan bukan sekadar layanan medis, tetapi juga soal martabat, penghormatan terhadap kemanusiaan meskipun seseorang sedang menjalani pidana.

Arah Kebijakan dan Rekomendasi Perbaikan

Perluasan Layanan Kesehatan di Lapas

Pemerintah harus secara serius membenahi layanan kesehatan di Lapas Sukamiskin dan lapas lainnya. Dibutuhkan pengadaan alat hemodialisa di dalam lapas, pelatihan bagi petugas medis, serta penyediaan fasilitas rawat jalan dan ruang isolasi untuk pasien dengan penyakit kronis.

Harmonisasi Sistem BPJS dan Lapas

Kementerian Hukum dan HAM serta BPJS Kesehatan harus bersinergi dalam menyederhanakan akses layanan untuk narapidana. Perlu database tunggal dan proses klaim yang otomatis bagi napi, sehingga mereka tidak terhambat dalam menerima pengobatan karena birokrasi atau dokumen yang tidak lengkap.

Peningkatan Kapasitas dan Empati Petugas

Diperlukan pelatihan yang sistematis bagi petugas pemasyarakatan mengenai pentingnya kesehatan sebagai hak fundamental. Petugas harus menjadi bagian dari upaya pemulihan, bukan hanya pengawasan, agar lembaga pemasyarakatan benar-benar berfungsi sebagai tempat pembinaan.

Mengembalikan Martabat dalam Sistem Pemasyarakatan

Kisah napi cuci darah di Lapas Sukamiskin membuka mata banyak pihak akan ketimpangan dan minimnya perlindungan hak asasi dalam sistem pemasyarakatan kita. Kesehatan bukan hak istimewa—ia adalah kebutuhan dasar yang harus dijamin negara kepada siapa pun, termasuk mereka yang kehilangan kebebasan.

Perbaikan tidak bisa ditunda. Langkah tegas harus diambil untuk memastikan bahwa tidak ada lagi napi yang meninggal hanya karena akses pengobatan yang tertunda. Lapas bukan sekadar tempat pembalasan, tapi ruang perbaikan. Dan itu harus dimulai dari menjaga nyawa mereka yang masih ingin hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *