Polda Lampung Hentikan Laporan Gindha Ansori Wayka terhadap TikToker

Berita29 Views

Dalam sebuah putusan yang mengundang sorotan nasional, Kepolisian Daerah Lampung resmi menyatakan laporan hukum dari Gindha Ansori Wayka terhadap seorang TikToker muda, Bima Yudho Saputro, tidak memenuhi unsur pidana. Keputusan ini menutup babak panjang yang sempat menjadi polemik publik antara kebebasan berekspresi dan sensitivitas daerah.


Awal Mula Perseteruan: Ujaran Kontroversial di TikTok

Gindha Ansori Melaporkan, Warganet Geger

Perkara ini bermula dari video berdurasi 1 menit 10 detik yang diunggah oleh akun TikTok @bimayudhos pada awal April 2023. Dalam video tersebut, Bima, mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri, menyampaikan kritik tajam terhadap kondisi pembangunan infrastruktur di Lampung.

Namun, yang menjadi sorotan bukan hanya isi kritiknya, melainkan satu frasa: “Lampung itu provinsi dajjal.”

Gindha Ansori Wayka, seorang advokat sekaligus aktivis sosial asal Lampung, merasa pernyataan itu melampaui batas. Ia pun melayangkan laporan resmi ke Polda Lampung dengan tuduhan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU ITE terkait ujaran kebencian dan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.


Pemeriksaan Intensif: 6 Saksi dan 3 Ahli Turun Tangan

Analisa Linguistik Jadi Penentu

Polda Lampung bergerak cepat. Unit Subdit Siber Ditreskrimsus segera membuka penyelidikan dan memeriksa enam saksi, termasuk tiga saksi ahli—terdiri dari ahli bahasa, ahli hukum pidana, dan pakar komunikasi digital.

Ahli bahasa menyatakan bahwa istilah “dajjal” dalam konteks tersebut adalah metafora atau gaya bahasa hiperbolis yang tidak merujuk pada kelompok tertentu. Ia tidak bersifat literal ataupun menargetkan suku, agama, ras, atau golongan tertentu. Penilaian ini sangat krusial karena menjadi fondasi dalam menentukan unsur hukum yang bisa digunakan.

Ahli pidana menegaskan bahwa dalam yurisprudensi, frasa tersebut tidak bisa serta-merta ditafsirkan sebagai ujaran kebencian, apalagi jika tidak diikuti oleh unsur niat jahat atau dampak nyata terhadap kelompok masyarakat.


Putusan Akhir Polda Lampung: Tidak Ada Unsur Pidana

Hasil Gelar Perkara: Laporan Dinyatakan Gugur

Pada 21 April 2023, dilakukan gelar perkara internal di Polda Lampung. Hasilnya, penyidik memutuskan tidak melanjutkan laporan ke tahap penyidikan karena tidak ditemukan unsur pidana.

Dalam keterangan resminya, Dirkrimsus Polda Lampung Kombes Pol Donny Arief Praptomo menyatakan:

“Setelah melalui analisa dan pemeriksaan para ahli, laporan terhadap akun TikTok tersebut kami hentikan karena tidak memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana yang dilaporkan.”

Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar di Mapolda Lampung, dan langsung direspons secara luas oleh warganet serta media nasional.


Reaksi Gindha Ansori Wayka: Tetap Kecewa, Akan Tempuh Jalur Etik

Tidak Terima, Akan Bawa ke Komisi Etik Profesi

Meski menerima keputusan Polda, Gindha Ansori tidak tinggal diam. Dalam wawancara dengan sejumlah media nasional, ia menegaskan bahwa langkah selanjutnya adalah mengadukan TikToker tersebut ke Komisi Informasi, Ombudsman, dan lembaga etik lainnya, karena menurutnya pernyataan itu telah merendahkan martabat daerah asalnya.

Ia menyayangkan bahwa penyidik hanya melihat dari sisi linguistik tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya di masyarakat Lampung. Gindha juga merasa bahwa narasi publik lebih memihak pelaku ketimbang menilai dari perspektif warga lokal yang tersinggung.


Kebebasan Berekspresi vs Martabat Daerah

Wacana Hukum dan Demokrasi Mengemuka

Kasus ini membuka diskusi besar di ruang publik: sampai di mana batas kebebasan berekspresi di media sosial? Apakah kritik yang bersifat tajam dan emosional bisa dikategorikan sebagai ujaran kebencian?

Pakar hukum dari Universitas Indonesia, dalam sesi diskusi daring yang viral, menjelaskan bahwa hukum pidana tidak bisa sembarangan digunakan untuk merespons ekspresi pribadi, kecuali terbukti menimbulkan kerugian nyata atau kekerasan.

“Kritik tidak otomatis jadi kejahatan. Kita harus waspada terhadap kriminalisasi ekspresi, karena bisa membahayakan demokrasi,” tegasnya.


Respons Netizen dan Influencer: “Bima Bukan Penjahat”

Dukungan Mengalir Deras di Media Sosial

Hashtag seperti #FreeBima, #LampungDiperbaikiBukanDipenjara, dan #KritikBukanKriminal sempat menjadi trending topic di Twitter dan TikTok. Banyak netizen menilai bahwa Bima tidak bersalah, bahkan dianggap sebagai pahlawan karena berani menyuarakan hal yang dianggap tabu oleh banyak warga lokal.

Sejumlah influencer seperti Denny Siregar, Tretan Muslim, hingga tokoh akademisi turut angkat bicara. Mereka menyerukan pentingnya kritik sebagai kontrol sosial dan menolak upaya pelaporan yang dirasa terlalu sensitif.


Dampak Sosial di Lampung: Terbelah Dua Pendapat

Ada yang Tersinggung, Ada yang Mendukung

Di lapangan, opini publik warga Lampung sendiri terbelah. Sebagian masyarakat—terutama generasi muda—justru mengapresiasi keberanian Bima dalam menyoroti fakta-fakta yang selama ini luput dari perhatian pemerintah pusat.

Namun, kelompok konservatif dan pejabat lokal merasa dirugikan secara moral. Mereka menganggap citra daerah menjadi rusak akibat viralnya video tersebut dan mendesak agar ada permintaan maaf terbuka.


Bima Yudho Saputro: Klarifikasi, Bukan Permintaan Maaf

“Saya Ingin Lampung Lebih Baik”

Melalui unggahan video klarifikasi, Bima menyatakan bahwa tujuannya bukan untuk menghina daerah, melainkan menyampaikan keresahan sebagai warga yang peduli. Ia mengakui penggunaan kata “dajjal” mungkin terlalu keras, namun itu ekspresi spontan yang keluar dari rasa frustrasi terhadap kondisi yang menurutnya jauh dari kata layak.

“Saya cinta Lampung. Tapi bukan berarti saya tidak boleh bicara jujur. Saya ingin perubahan,” ujarnya di video tersebut.


Pelajaran dari Kasus Ini: Preseden Baru untuk Dunia Digital

Refleksi Hukum dan Etika Media Sosial

Keputusan Polda Lampung untuk menghentikan laporan ini membuka preseden penting dalam penanganan perkara berbasis digital. Tidak semua konten yang viral dan menyinggung langsung dapat dikategorikan sebagai pidana.

Sebaliknya, aparat penegak hukum dituntut untuk memiliki ketelitian tinggi dalam menganalisis konteks, niat, dan dampak nyata dari setiap ucapan di media sosial. Tanpa itu, hukum justru bisa berubah menjadi alat pembungkam ekspresi.


TikTok, Kritik, dan Masa Depan Demokrasi Digital

Kasus antara Gindha Ansori dan TikToker Bima Yudho menjadi potret penting dari dinamika hukum, kebebasan berekspresi, dan sensitivitas daerah di era digital. Di satu sisi, publik membutuhkan ruang bebas untuk menyampaikan kritik. Namun di sisi lain, ekspresi itu juga tidak boleh sembarangan dan harus tetap mengindahkan norma sosial.

Polda Lampung telah mengambil langkah yang dianggap berani—berpihak pada keadilan berdasarkan logika hukum, bukan tekanan publik. Kasus ini akan selalu dikenang sebagai momen di mana aparat penegak hukum belajar menyeimbangkan hukum dan demokrasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *