JAKSA AGUNG; Pendekatan Humanis Dalam Penegakan Hukum di Indonesia
Jakarta, (Jnnews) || Tolok ukur keberhasilan suatu negara dengan konsepsi negara hukum adalah keberhasilan dalam penegakan hukumnya. Dikatakan berhasil apabila hukum ditegakkan sesuai aturannya, begitu pun sebaliknya. Kurang optimalnya kepatuhan terhadap regulasi akan berimplikasi terhadap kredibilitas para pembentuk dan pelaksana aturan, serta semua subjek norm adressat pemberlakuan aturan tersebut.
Presiden Joko Widodo dalam arahannya pernah menyampaikan bahwa Kejaksaan sebagai institusi terdepan dalam penegakan hukum dan mengawal kesuksesan pembangunan nasional. Kiprah Kejaksaan adalah wajah pemerintah dalam kepastian hukum baik di mata rakyat dan internasional.
Penegakan hukum pada prinsipnya memberikan keadilan untuk semua lapisan masyarakat, namun tidak dapat dipungkiri penegakan hukum di Indonesia masih belum optimal dalam memberikan perlindungan hukum dan akses keadilan bagi rakyat kecil. Oleh karena itu, Kejaksaan merespon realitas tersebut dengan menerbitkan kebijakan yang concern atau berpihak kepada rakyat kecil yang berhadapan dengan hukum utamanya untuk kasus-kasus ringan.
Dalam kurun satu dekade terakhir, sejumlah kasus ringan yang menyita perhatian publik, sebut saja pencurian tiga biji kakao, getah karet, dan sandal jepit yang nilai kerugiannya belasan ribu rupiah. Jika ditilik dari perspektif kepastian hukum, para pelaku telah memenuhi unsur-unsur pencurian Pasal 362 KUHP, sehingga secara legal formal terhadap pelaku ‘harus’ diminta pertanggungjawaban pidananya.
Namun, saat itu masyarakat berpendapat lain, mereka menginginkan adanya diskresi agar hukum dapat diterapkan secara fleksibel, tidak kaku, karena pada dasarnya tujuan hukum selain keadilan dan kepastian hukum, yaitu kemanfaatan hukum.
Kondisi penegakan hukum tersebut diperparah dengan rendahnya hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor, sehingga masyarakat tergerak, sepakat untuk melabeli penegakan hukum di Indonesia, “tumpul ke atas, tajam ke bawah”.
Sebagaimana negara yang pernah menerapkan asas konkordansi, maka aturan-aturan kolonial pada masa lalu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat modern. Corak penghukuman atau retributif, di berbagai belahan negara sudah mulai ditinggalkan karena dianggap telah usang dan tidak mengakomodir kebutuhan hukum masyarakat, karena selain tidak mengurangi jumlah pelaku tindak pidana, juga menambah keruwetan dalam sistem pemasyarakatan, termasuk over capacity di semua lembaga pemasyarakatan.
Bertolak dari permasalahan yang timbul, dalam Kongres PBB ke-9 Tahun 1995 “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” (dokumen A/CONF.169/16) diungkapkan perlunya semua negara untuk mempertimbangkan “privatizing some law enforcement and justice functions” dan “alternative dispute resolution” berupa mediasi, konsiliasi, restitusi dan kompensasi dalam tahapan penegakan hukum untuk menjawab masalah yang timbulkan dari keadilan retributif.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan ‘solusi lain’ yang lebih membumi dan humanis dalam mengentaskan persoalan penegakan hukum dengan memberikan kesempatan kepada korban tindak pidana untuk tidak hanya menerima putusan hakim, namun memperjuangkan nasibnya untuk mencapai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum dengan mendudukkan pihak yang berperkara dalam satu forum pemecahan masalah dengan dimediatori oleh aparat penegak hukum. Untuk itu, merupakan tugas aparat penegak hukum termasuk Kejaksaan Republik indonesia bersama-sama dengan stakeholders lainnya mencari suatu (solusi) alternatif terbaik dalam penegakan hukum di Indonesia dengan tetap memperhatikan kebijakan yang telah dicanangkan oleh Pemerintah di dalam RPJMN 2020-2024.
Pendekatan Humanisme dalam Hukum dan humanisme bagai dua sisi mata uang, keduanya terikat satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Meminjam pendapat Satjipto Raharjo yang mencetuskan teori hukum progresif, menyatakan bahwa “hukum itu diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya”. Dari pendapat tersebut dapat digarisbawahi bahwa hukum diciptakan adalah dalam rangka menjaga tatanan hidup manusia dalam semua lini kehidupannya yang pada akhirnya demi mewujudkan masyarakat madani.
Secara terminologis humanisme merupakan paham yang memosisikan manusia sebagai pusat dari kehidupan. Sedangkan dalam artian filsafat, humanisme memandang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri dan dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan diri. Filsafat humanisme ini bukan barang baru, ia lahir sejak zaman renaissance di Italia pada pertengahan abad ke-14. Pada masa itu, filsafat humanisme merupakan penggerak perkembangan kebudayaan modern di Eropa.
Tidak lengkap rasanya jika memandang humanisme hanya dari sisi terminologi dan filsafat, dari perspektif ideologis humanisme memiliki nilai penting karena menjadi paham yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia sedemikian rupa yang manusia dipandang menempati posisi yang sangat tinggi, sentral, dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafat maupun dalam praktis kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks Indonesia, humanisme memiliki tiga landasan fundamental, karena pada dasarnya humanisme tersebut ditarik dari fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan, yaitu: pertama, manusia merupakan tujuan akhir dari penciptaan; kedua, manusia sebagai mikrokosmos yang dalam istilah Jawa disebut ‘jagad cilik’; dan ketiga, manusia sebagai cermin Tuhan di muka bumi. Pendapat beliau seolah menegaskan paham humanisme yang berkembang dimasa lalu, tidak lekang dan masih sesuai untuk diterapkan di masa kini, khususnya dalam penegakan hukum yang lebih ‘memanusiakan manusia’.
Perlu dipahami bahwa hukum yang humanis adalah hukum berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan, moral dan etika yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Hal ini selaras dengan pendapat Von Savigny sebagaimana dikutip oleh Moeljatno yaitu “das recht ist und wird mit dem volke” Hukum itu hidup dan tumbuh bersama-sama dengan rakyat (Moeljatno,1985:2). Sehingga idealnya, hukum ditegakkan untuk kepentingan manusia, tidak menjadikan manusia sebagai obyek hukum.
Penegakan hukum di Indonesia memiliki beberapa kelemahan, salah satunya adalah dengan menempatkan hukum sebagai subjek, sedangkan manusia adalah sebagai objek dalam penegakan hukum. Hal ini mengakibatkan hukum yang ditegakkan adalah sesuai dengan apa yang diatur (as-is) tanpa memandang apa yang mereka dianggap paling membumi dan humanis dibandingkan dengan pendekatan retributif dan distributif yang dijelaskan oleh Eglash.
Dalam hukum Indonesia, konsep restorative justice sudah dikenal dalam hukum adat. Pranata adat yang digunakan adalah community reparation boards (tetua adat) and citizen’s panel (perwakilan masyarakat). Konsep mediasi ini diadopsi menjadi falsafah bangsa dalam sila ke-4, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Sebagai jawaban atas keresahan masyarakat yang mendambakan hukum yang humanis, pada peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-60 tahun 2020, Kejaksaan menerbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Melalui aturan ini diharapkan Kejaksaan dapat menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) dengan interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid). Ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke Pengadilan, diharapkan akan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih dekat dan memberikan kemanfaatan kepada seluruh pihak.
Meski demikian, tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan dengan mekanisme restoratif, dalam beleid ini, ditentukan pelaksanaannya, yaitu: Pertama, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kedua, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, dan ketiga, Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Perlu dipahami bahwa keadilan restoratif merupakan bentuk diskresi penuntutan (prosecutorial discretion) oleh penuntut umum yang merupakan pengejawantahan asas dominus litis.
Berkaitan dengan pelaksanaan penghentian penuntutan keadilan restoratif oleh Kejaksaan RI, sejak tahun 2020 hingga juli 2022 terdapat 1361 perkara yang diselesaikan melalui keadilan restoratif di seluruh Indonesia dengan rincian 192 perkara pada tahun 2020, 388 pada tahun 2021 dan 781 hingga Juli tahun 2022.
Sebagai kelanjutan dari perwujudan keadilan restoratif, Kejaksaan juga telah meluncurkan Rumah Restorative Justice pada hari Rabu tanggal 16 Maret 2022.
Pembentukan Rumah Restorative Justice (RJ) menjadi sarana penyelesaian perkara diluar persidangan (afdoening buiten process) sebagai alternatif solusi memecahkan permasalahan penegakan hukum dalam perkara tertentu yang belum dapat memulihkan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Sampai dengan tanggal 7 Juli 2022 sudah terbentuk 848 Rumah RJ di seluruh Indonesia. Hal ini diapresiasi positif oleh masyarakat, yang mana di dalam hasil survei yang dirilis oleh Indikator Politik Indonesia (IPI) bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan mencapai 74,5 %.
Akhirnya, pendekatan humanis ini selaras dengan cita-cita hukum yang mengutamakan pada kepentingan masyarakat, serta tidak sekadar melihat keadilan secara positivis, akan tetapi lebih mengedepankan asas kemanfaatan. Mengingat, hadirnya hukum untuk menyeimbangkan kehidupan masyarakat. Hal demikian sesuai dengan asas yang dikenal “restitutio in integrum” yang artinya hukum hadir untuk mengembalikan masyarakat pada keadaan semula yang tenteram demi tercapainya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum yang humanis dan mengedepankan rasa kemanusiaan guna mengejawantahkan “hukum yang tegas ke atas dan humanis ke bawah”. /Sn
Jakarta, 22 Juli 2022.
Oleh ; JAKSA AGUNG RI, Prof. Dr. ST. Burhanuddin, S.H, M.H,
Red