Prabowo-Muhaimin, Rentan Handikap, Perlu Perkuat Strategi
Bandar Lampung, (Jnnews) | Kita melihat dalam layar kaca bagaimana Prabowo-Muhaimin runtang-runtung untuk menciptakan upaya koalisi partai yang tidak mudah. Kenapa tidak mudah? Karena dalam kondisi suasana politik jelang Pilpres 2024 tentu langkah-langkah politik bisa berubah dalam setiap detik waktu.
Sekjen Gerindra, Muzani, menuturkan Cak Imin merupakan ketua umum partai yang telah membangun koalisi dengan Gerindra. Menurutnya, Cak Imin menjadi sosok cawapres paling potensial untuk mendampingi Prabowo (DetikNews, 28/09/22).
Apa pun yang menjadi ucapan dari pejabat partai terhadap koalisi, dalam termonilogi politik bukan merupakan keputusan akhir sebelum KPU menetapkan keputusan Capres-Cawapres, namun setidaknya itu menjadi tuntunan kader untuk mematuhi arah laju upaya koalisi partai.
Secara figur calon pemimpin bangsa, Prabowo dan Cak Imin merupakan pasangan ideal, karena keduanya merupakan sosok yang telah teruji dalam dinamika demokrasi dan politik bangsa ini melalui partai masing-masing dan menduduki jabatan puncak sebagai tokoh politik, setidak-tidaknya mereka berdua adalah Ketua Partai dan berpengalaman sebagai menteri.
Handikap
Memang dalam setiap kekuatan seorang figur calon presiden, terdapat handikap yang menyelubungi secara politis. Bisik-bisik rakyat di tengah kebisingan koalisi partai, terdapat hal-hal mengarah kepada handikap Prabowo yang wajib diantisipasi koalisi Gerindra – PKB ke depan.
Prabowo seorang prajurit berpangkat terakhir Letnan Jenderal, memiliki elektoral tiga besar hasil survei, Ketua Partai dan pernah dua kali Nyapres. Handikap Prabowo antara lain; pertama, tren publik mulai bosan dengan pemain-pemain lama yang dianggap telah gagal meraih kemenangan Pilpres, Prabowo telah dua kali gagal sebagai petarung Pilpres.
Kedua, ada kecenderungan publik untuk mencari sosok pemimpin baru yang lebih muda, segar dan memiliki kedalaman intelektual, wawasan dan pengalaman, ciri ini ada pada Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Ketiga, sebagian publik menganggap Prabowo cenderung oportunis setelah memutuskan menjadi bagian dari kabinet Jokowi. Fatsun politik, etiknya Gerindra ada dalam barisan oposisi sebagai konsekwensi kalah Pilpres.
Sementara, handikap yang melingkupi Cak Imin dan PKB, pertama, PKB dikenal sebagai partai ‘kaum sarungan’ dalam hal ini didukung oleh kaum nahdliyin yang berpusat di sebagian pulau Jawa, namun dengan beralihnya Ketua Umum NU dari Said Aqil Siradj ke Yahya Chollil Staquf, arah politik NU kemungkinan berubah, NU lebih sebagai partai ummat, urusan dukungan parpol adalah urusan individu nahdliyin.
Kedua, ketokohan Cak Imin masih belum setara Gusdur sehingga polarisasi dukungan publik khususnya di pulau Jawa masih terpecah kepada tokoh lain dari partai yang berbeda yang berafiliasi dan mampu mendekatkan diri kepada NU.
Ketiga, dalam masa kepemimpinan Muhaimin, PKB dianggap partai yang selalu ada dalam barisan pemerintah, sebagian publik lebih suka kepada partai-partai politik yang bisa kritis terhadap pemerintah dalam soal kebijakan negara meskipun berada dalam koalisi pemerintah.
Daya Koalisi
Hasil perolehan suara Pemilu 2019, Gerindra 12,57%, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 9,69%, elektoral Gerindra sebagai dua terbesar setelah PDIP, sedangkan PKB pada posisi keempat setelah Golkar. Jika digabung keduanya maka terdapat kekuatan 22,26% suara.
Perolehan suara di atas sudah cukup membentuk satu daya koalisi sah karena telah melewati Presidential Treshold 20%, tapi tentu untuk memenangkan pertarungan, koalisi Gerindra – PKB perlu menambah koalisi partai-partai lain sehingga akan memperkokoh energi mesin partai. Masalahnya, partai mana yang bisa ikut koalisi dalam kondisi partai politik telah terfragmentasi dalam berbagai kecenderungan koalisi saat ini.
Golkar telah merintis Koalisi Indonesia Baru (KIB) yang isinya; PAN, PPP dan Golkar. Sementara Nasdem telah mengusung Anies Baswedan bersama barisan PKS dan Demokrat.
Di sisi lain, PDIP belum ada kecenderungan oposisi meski bisa mengusung sendiri capresnya. Dengan demikian partai tersisa untuk diajak koalisi adalah partai-partai kecil yang berada di bawah Parliamentary Treshold 5%, yaitu Hanura, PBB, Perindo, PIS, dll.
Strategi
Jika Gerindra dan PKB tetap konsisten dalam koalisi mengusung Prabowo dan Muhaimin, ada beberapa strategi yang perlu dilakukan dalam menghadapi Pilpres 2024.
Pertama, Gerindra – PKB sebaiknya bisa menambah jumlah partai politik yang masuk dalam barisan koalisi. Di tengah labilnya koalisi partai-partai, setidaknya Gerindra-PKB bisa merekrut partai-partai kecil seperti Hanura, PBB, Perindo, dll. Jika perlu, bisa memecah koalisi KIB yang saat ini beberapa jaringan partainya mulai mendukung capres yang bukan berasal dari KIB, seperti PPP dan PAN.
Kedua, untuk memperlemah isu oportunis dan memperkuat eksistensi kemandirian Prabowo di mata publik, ada baiknya Gerindra memikirkan agar Prabowo mulai bisa melepaskan diri dari kabinet pemerintah Jokowi, dengan cara mengundurkan diri sebagai menteri dengan alasan persiapan menuju Pilpres, meskipun tidak harus berseberangan dengan Jokowi.
Dengan demikian Prabowo dianggap mampu berjalan dalam jejak berbeda dengan KIB, PDIP, bahkan dengan koalisi Anies Baswedan (Nasdem, PKS, Demokrat). Jika ini dilakukan diyakini terdapat peningkatan segmen kepercayaan publik kepada Prabowo, paling tidak mempertahankan pendukung-pendukung lama yang mulai ancang-ancang beralih.
Ketiga, pendekatan sosiologis, yaitu upaya penguatan pada pemilih urban (perkotaan) yang lebih mengidolakan capres muda, memiliki wawasan dan intelektualisme, dengan menawarkan ‘gagasan Indonesia baru’ yang bernas untuk isu-isu pembangunan pasca Jokowi, seperti; hutang negara, IKN, penegakan hukum, BBM, mobil listrik, pertumbuhan ekonomi, politik identitas, demokrasi, dllsb.
Untuk pemilih rural (pedesaan) notabene terbesar (sekitar 70% pemilih) yang memiliki tipikal pragmatis, maju tak gentar. Strategi pendekatan jaringan kader partai yang ada di lumbung-lumbung desa, diarahkan kepada program-program yang lebih sederhana dan tentu lebih teknis, agar mudah dimengerti dan dipahami masyarakat pedesaan. /Sn
Oleh ; Andi Surya (Akademisi UMITRA, Lampung).
Red