PENGUATAN POLITIK : ANTARA KEBUTUHAN dan TANTANGAN
Oleh : Dr. Wendy Melfa
Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL)
AGENDA KEBANGSAAN
Tahun 2024 sebagai tahun politik nyaris kita lalui, hanya menyisakan sedikit lagi agenda dipenghujung berupa penetapan KPU atas hasil Pilkada, gutatan Mahkamah Konstitusi, berkutnya agenda pelantikan cakada terpilih. Untuk kali pertama Bangsa ini menyelesaikan tiga Pemilu secara marathon pada tahun yang sama, yaitu agenda Pemilu Legilatif (Pileg), Pemilu Presiden (Pilpres), dan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) serentak, inilah hasil terbaik capaian agenda politik kebangsaan meskipun bukan tanpa masalah-masalah yang menyertainya (residu politik) telah melahirkan konfigurasi kepemimpinan pada lembaga eksekutif dan keanggotaan legislatif yang akan membuat kebijakan dan menjalankan pemerintahan selama lima tahun kedepan.
Dengan semangat memperbaiki kualitas demokrasi kita yang senantiasa tumbuh dan berkebang serta menyempurnakan sistem politik dan Pemilu kita kedepan, adalah moment yang baik dan kondusif serta mempunyai keleluasaan waktu bagi segenap stake holder untuk pada awal pemerintahan ini apabila diagedakan secara nasional untuk mengevaluasi, melihat masalah-masalah, memperbaiki, merevisi berbagai aturan-aturan sebagai landasan hukum dan politik bekerjanya sistem politik dan demokrasi kita dari UU Politik bahkan bila diperlukan amandemen UUD 1945 beserta semua aturan turunannya, tanpa harus diikuti kecurigaan dari sebagian kelompok anak bangsa akan kekhawatiran adanya “agenda” lain sebagai “penumpang gelap” dibalik agenda evaluasi dan perbaikan peraturan perundangan bidang politik ini, kecurigaan untuk memperpanjang masa jabatan kepemimpinan misalnya. Apabila pembahasan dan revisi paket UU Politik ini dapat berjalan, harapannya dapat diterapkan pada pelaksanaan Pemilu 2029 yang akan datang, dan diharapkan menghadirkan optimisme baru bagi bangsa kita dalam menghadapi agenda politik bangsa tanpa diikuti “traumatik” akan mengulangi masalah-masalah yang dihadirkan dari pengalaman Pemilu sebelumnya.
Terdapat delapan paket UU politik yang terintegrasi, terkait, dan saling berhubungan dalam perspektif politik, demokrasi, sampai hadirnya sebuah konfigurasi kepemimpinan pemerintahan nasional dan daerah sebagai wujud kedaulatan rakyat yang akan menjalankan Pemerintahan pusat dan daerah, yaitu: UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pilkada, UU MD3, UU Pemerintahan Daerah, UU DPRD, UU Pemerintahan Desa, UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Dari delapan paket UU politik tersebut dibutuhkan satu kesatuan waktu pembahasan agar terbangun nafas, semangat (jiwa), perspektif yang sama dan terintegrasi untuk melahirkan keterpaduan memperbaiki dan membangun sistem politik dan demokrasi yang lebih baik. Pembahasan terintegrasi juga dapat dijadikan sebagai titik temu dan kesepahaman tentang UU mana yang sejatinya dapat disatukan (penggabungan) untuk efektifitas pelaksanaannya, tentu parameternya pembahasan dan atau penggabungan UU politik (bila diperlukan) merujuk pada perbaikan untuk mewujudkan tujuan negara.
PERBAIKAN SISTEM POLITIK ITU KEBUTUHAN
Tidak bisa dipungkiri bahwa Partai Politik (Parpol) adalah “hulu” dari mengalirnya proses-proses politik sampai ke “hilir” hingga menghadirkan wajah sistem politik dan demokrasi melalui mekanisme demokrasi Pemilu dan Pilkada sebagaimana kita rasakan saat ini. Atmosfernya Parpol setidaknya masih menyisakan tiga agenda krusial yang membebani Parpol kita sebagai pilarnya demokrasi, pertama: berkaitan dengan idiologi Parpol, kedua: pola rekruitmen kader dan pengkaderan Parpol itu sendiri, dan ketiga: pola pembiayaan Parpol yang berimplikasi pada integritas dan kemandirian Parpol. UU 2/2011 tentang Partai Politik sebagai landasan hukum Parpol juga usianya sudah terbilang tidak lagi up date bila disandingkan dengan situasi dan perkembangan politik saat ini. Dirasakan sebuah kebutuhan untuk merevisi UU Parpol tersebut karena disamping masih terkendala persoalan krusial, juga diperlukan aturan-aturan yang lebih adaptif dengan situasi dan perkembangan politik dekade saat ini.
Sikap pragmatisme yang dirasakan melampaui batas kewajaran (bahkan pada Pileg 2024 lalu ada yang menyebutnya demokrasi ugal-ugalan) dari masyarakat pemilih dalam menggunakan hak pilihnya juga ditengarai lahir (by design) dari sistem Pemilu yang kita terapkan, hingga pemilih cenderung mengabaikan rakam jejak, visi dan misi dari calon anggota legislatif hingga muncul adagium NPWP (nomor piro wani piro) dan berorientasi pada materi dan logistik yang menimbulkan hight cost politic, tentu hal ini menghasilkan disparitas jarak yang terlalu jauh dari terbangunnya pemimpin politik yang diharapkan dapat menyerap, membahas, dan menyalurkan aspirasi masyarakat sebagaimana berfungsi idealnya wujud kedaulatan rakyat. Fenomena dan “aura” high cost politic ini juga kemudian menular kepada pelaksanaan agenda Pilkada yang relatif berdekatan waktunya, dan terdengar rata-rata (walau ada beberapa yang tidak) pemenang Pilkada adalah calon yang menghabiskan biaya politik yang besar, termasuk untuk money politic menukar suara pemilih dipenghujung jelang pemungutan suara. Landasan hukum Pemilu yaitu UU 7/2017 dan Pilkada yaitu UU 10/2016 juga terbilang sudah waktunya untuk direvisi karena dirasakan menimbulkan masalah dan tidak bisa menyesuaikan dengan kebuutuhan dan perkembangan demokrasi itu sendiri.
Ada banyak hal lain yang bisa dijadikan rujukan masalah yang hadir sebagai problem yang menyertai perkembangan dan pertumbuhan politik dan demokrasi kita yang terbangun saat ini mengikuti kemajuan dan perkembangan masyarakatnya, tentu sebagai Bangsa yang ingin politik dan demokrasi Bangsanya juga maju dan berkembang menginginkan adanya perbaikan dan perubahan untuk penguatan politik dan demokrasi itu sendiri, meskipun juga akan menghadapi tantangan yang tidak ringan, dari soal kesatuan pandang para perumus kebijakan, soal-soal tehnis yang juga cukup menentukan berjalan lancarnya penguatan sistem politik dan demokrasi, juga tak kalah hebatnya akan menghadapi “penolakan” dari siapa saja yang “merasa nyaman” dengan proses-proses politik dan demokrasi yang lalu beserta hasil-hasilnya tentu saja. Penguatan politik dan demokrasi ini kita yakini adalah kebutuhan kita sebagai Bangsa, meski akan ada kendala dan tantangan untuk mewujudkannya. /sn
red