BANJIR, FENOMENA, dan GAYA HIDUP
Oleh : Dr. Wendy Melfa
Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL)
Lampung, (Jnnews) | FENOMENAL BANJIR,
Hujan deras yang mengguyur Bandarlampung jumat 17 Januari lalu telah menyebabkan banjir (lagi) melanda Kota Bandar Lampung, yang paling serius terdampak pada kecamatan Telukbetung Selatan dan Panjang, 14 ribu rumah lebih terendam, sejumlah infrastruktur bangunan dan jembatan putus dan rusak, sejumlah warga menderita bahkan ada korban kehilangan nyawa, juga berdampak pada ekonomi dan sosial budaya lainya, sebagaimana berita tersajikan, bahwa fenomena banjir juga terjadi pada sejumlah kabupaten di Lampung. Tulisan ini bukan hendak menginventaris dampak kerusakan dan kerugian musibah banjir sebagaimana banyak disoroti berbagai kalangan dan lembaga, juga bukan soal mengidentifikasi penyebab banjir, karena faktanya fenomena banjir ini bukan hanya terjadi di Bandar Lampung, tetapi juga (pernah) terjadi di daerah lain, hanya waktu dan skalanya saja yang berbeda.
Sesuatu yang klise apabila kali ini kita baru akan mencari tahu apa faktor penyebab bencana banjir dan jenis bantuan apa yang dapat diberikan kepada masyarakat terdampak banjir. Problem sosial pertumbuhan kehidupan dan perkotaan kerap menjadi “kambing hitam” yang siap untuk dipersalahkan tanpa solusi yang sungguh-sungguh dan terlembagakan seperti keterbatasan lahan yang ‘memaksa’ warga ‘hidup’ dan mempersempit bantaran aliran sungai, sampah yang kerap mengotori dan membuat ‘sesak’ aliran drinase, penebangan pohon dan berkurangnya lahan terbuka hijau yang dapat menjadi media serapan air hujan akibat desakan pertumbuhan pemukiman penduduk dan menggantikannya dengan gedung dan beton yang menutupi lahan dan banyak lagi berbagai problem sosial yang menjadi ‘kambing hitam’ sebagai penyebab yang dipersalahkan setiap problem banjir datang, dan tanpa upaya sungguh-sungguh yang sustainability, surut dan hanyut seperti surutnya air banjir dan hanyut menyisakan cerita bencana, derita, dan nestapa tergilas oleh siklus kehidupan selanjutnya.
Namun kita juga tidak boleh hanya berdiam diri dan hanya pasrah, ketika hujan berdurasi dan debit air tinggi maka kesimpulan kita sama dengan banjir (lagi) akan melanda negeri ini, karena itu adalah kesimpulan yang konyol tanpa usaha dan perjuangan sama sekali. Kalo itu yang terjadi, masa depan bangsa dan negeri ini akan berhimpitan dengan keporakporandaan menghadapi bencana yang tanpa kepastian kapan akan terjadi tanpa ada upaya dan usaha kita menghadapi dan mengantisipasinya, lalu dimana tanggungjawab kita sebagai penyelenggara Negara, Pemerintah (Daerah), termasuk seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dalam menghadapi bencana banjir yang kerap berulang ini ?.
HAK KOSTITUSIONAL
Tantangan kita adalah membangun (menguatkan) kembali kesadaran berbangsa untuk bagaimana memelihara tata kelola lingkungan yang baik sebagai upaya bersama hingga mencegah atau setidaknya meminimalisir terjadinya bencana (banjir) pada lingkungan kita, UUD 1945 menyatakan: “Bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asası dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia”. Lingkup lingkungan hidup dalam hal ini dipahami sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Adanya Pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran hak asasi. Mempersepsikan kerangka berfikir yang kemudian akan bermuara pada kerangka kerja dalam implemantasi di lapangan menempatkan Negara, Pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) sampai unit paling bawah ditingkat masyarakat itu sendiri untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable) agar lingkungan hidup kita tetap “lestari” sebagai sumber hidup dan kehidupan bagi manusia dan semua mahluk lainnya (perspektif kodrati) sekaligus mengantisipasi dan meminimalisir kerusakan yang dapat berdampak pada bencana banjir (perspektif mitigasi).
Karena ada faktor ulah manusia, negara tetap harus melaksanakan tanggungjawabnya mengelola dan melindungi kehidupan dengan lingkungannya. Wujud tanggungjawab Negara itu dalam bentuk: hukum (law), perintah (order), kebijakan (policy), aturan (regulations), perizinan, program, anggaran, pemeliharaan dan lain-lain kekuasaan Negara lainya yang dapat diselenggarakan oleh Pemerintah (Daerah) baik oleh dirinya sendiri maupun secara bersama-sama dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk masyarakat di dalamnya.
Negaralah yang dapat ‘memerintahkan’ kekuatan militernya untuk ikut memelopori dan menjaga lingkungannya, Negaralah yang dapat mendorong bekerjanya hukum (substansi, stuktur, dan cultur) untuk menjaga lingkungan, termasuk memberikan sanksi terhadap mereka yang abai menjaga dan memelihara lingkungan, atas nama Negaralah suatu program melestarikan lingkungan dapat didukung oleh anggaran yang memadai, negara memberikan pengetahuan yang memadai akan pentingnya menjaga lingkungan, Negara juga lah yang dapat ‘memaksa’ agar semua itu dapat berlangung dan dipatuhi. Kekuasaan Negara dalam menjaga dan melestarikan lingkungan tersebut merupakan tanggungjawab untuk mewujudkan tujuan Negara dalam hal “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” termasuk dalam hal ini dari bencana banjir beserta dampak yang ditimbulkannya, Negaralah tempat warganya mengharapkan ‘suaka’ perlindungan, tujuan hadirnya Negara dalam kehidupan warganegaranya tersebut sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
SUSTAINABLE SEBAGAI PROGRAM DAN GAYA HIDUP
Upaya penanganan bencana banjir kurang tepat apabila menggunakan philosophy ‘sesaat dan surut’ mengikuti surutnya air ketika banjir usai, dan ‘terlupakan’ oleh siklus kehidupan berikutnya tanpa ada penanganan dan program antisipasi berkelanjutan (sustainable), bila tidak ditangani secara benar, maka kita siklus musim hujan, dapat diprediksi bencana banjir akan mengancam. Sebagai umat beragama, disatu sisi kita harus menerima bahwa bencana banjir itu adalah Kehendak dan Kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, namun kita juga harus percaya bahwa bagaimana upaya kita untuk memelihara dan melindungi lingkungan untuk kehidupan umat manusia dan mencegah bencana, juga adalah Kehendak-Nya yang harus kita dapatkan, dalam ajaran Islam disebutkan: “Allah tidak akan merubah nasıb suatu kaum manakala kaum itu sendiri tidak merubahnya” (QS Ar-Ra’d:11), bila kita ingin melestarikan lingkungan dan menghindari bencana banjir, maka kita yang harus menjaganya, bukankah Allah juga melarang kita untuk membuat kerusakan di muka bumi (QS Al-A’raf: 56 dan QS Al-Baqarah: 11).
Pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup harus diletakkan dalam kerangka upaya sistematis dan terpadu serta berkesinambangunan (sustainable) mencegah terjadinya kerusakan dan pencemaran (sampah) lingkungan yang meliputi aspek perencanaan, pengelolaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan, penindakan dan penegakan hukum yang dijadikan sebagai program aksi dan dijadikan sebagai gaya hidup yang menggambarkan keterpaduan yang saling bersinergi antara Pemerintah (Daerah) dan semua pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk masyarakat di dalamnya yang melingkupi semua segmen kehidupan dan strata sosial kehidupan. Jika menjaga dan melestarikan lingkungan sudah dijadikan sebagai ‘gaya hidup’ masyarakatnya, maka itu menggambarkan masyarakatnya yang ‘bergaya’ dan sadar akan pentingnya menjaga lingkungan, mencegah terjadinya bencana banjir, ikut merawat bumi untuk keselamatan dan kesejahteraan masyakatnya, ini baru keren. /seno
Red