Oleh : Dr. Wendy Melfa (Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL)
Pemerhati Kebijakan Publik, Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem)
Lampung, (Jnnews) | KONVENSI 100 HARI
28 Januari 2025 bertepatan dengan 100 hari kerja Prabowo – Gibran sejak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden ke-delapan Republik Indonesia pasca terpilih dan dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2024 yang unggul pada 36 provinsi dengan perolehan suara 58,6 %, sebuah dukungan dan legitimiasi politik yang cukup kuat sebagai modal politik menjalankan pemerintahan dan kepemimpinannya.
Hasil Pilpres tersebut tentu menjadi modal politik bagi Prabowo – Gibran beserta Kabinet bentukan pemerintahannya untuk bekerja dan mengambil langkah-langkah kebijakan bukan saja mewujudkan janji-janji politik pada saat kampanye, tetapi juga sebagai upaya percepatan pembangunan yang didalamnya ada evaluasi dan upaya keberlangsungan program pembangunan dari Pemerintahan sebelumnya. Residu dinamika Pilpres termasuk didalamnya kekuatan politik dukungan hasil Pilpres menjadi hal yang biasanya menjadi ‘tradisi politik’ untuk dilakukan langkah, kebijakan, bahkan tidak jarang menjadi sebuah gebrakan kepemimpinan pemerintahan baru dengan apa yang seiring disebut program 100 hari kerja. Menurut perspektif ketatanegaraan, tidak terlembagakan secara formal maupun secara yuridis apa yang dipersepsikan dengan program 100 hari kerja pemerintahan sejak dilantik, namun karena ini merupakan tradisi yang kemudian dipahami secara umum oleh publik untuk kemudian melihat dan menilai performa kepemimpinan, maka program 100 hari pemerintahan itu menjadi semacam konvensi pemerintahan, sesuatu yang bersifat tradisi dan dipahami secara umum oleh publik. Persepsi ini juga mengalir sampai kepada kepemimpinan pemerintahan tingkat provinsi dan kabupaten/ kota hasil Pilkada. Konvensi itu, dapat dilaksanakan tetapi juga tidak mempunyai konsekuensi apapun secara ketatanegaraan apabila tidak diwujudkan sebagai program 100 hari kerja.
ASTA CITA DAN PROGRAM PRIORITAS
Asta Cita merupakan 8 (asta) misi (cıta) yang merupakan perwujudan dari visi “Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045” yang diusung oleh Prabowo – Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI ke-delapan, dari 8 misi tersebut, tulisan ini akan membaca beberapa program yang dijadikan prioritas yang mulai dikerjakan dalam 100 hari kerja Pemerintahan Prabowo – Gibran, utamanya di Provinsi Lampung :
Makan Bergizi Gratis (MBG)
Sebuah program yang luar biasa sekaligus prospektif bila dibaca dari tujuannya; ingin mewujudkan penurunan angka malnutrisi dan stunting yang masih menjadi permasalahan bagi bangsa kita, utamanya pada balita, anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui yang kesemuanya tergolong apa yang disebut sebagai kelompok rentan. Goals dari program ini untuk memastikan bahwa kebutuhan gizi harian masyarakat kelompok sasaran dapat tercukupi dengan baik sesuai dengan standar angka kecukupan gizi (AKG). Melalui program ini gizi yang terpenuhi diharapkan dapat mendukung konsentrasi siswa dan meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar yang dapat berkontribusi pada meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia yang dikerjakan secara bertahap baik cakupan kelompok sasaran maupun kewilayahan untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Adanya ungkapan dalam bahasa Jerman, ‘das sein, das sollen’ kerap digunakan dalam perbincangan publik dalam menggambarkan adanya ‘kesenjangan’ antara tujuan dengan kenyataan, begitupun dalam implementasi gagasan program MBG ini. Masih terbatasnya (baca: sedikit) cakupan kelompok sasaran dan wilayah (di Lampung baru 3 Kabupaten), juga mengemuka adanya persoalan keterbatasan anggaran untuk menyangga program ini yang berakibat ‘penyajian’ menu makan bergizi gratis ini tampil ‘seadanya’ yang terkadang ditampilkan di media tervisualisasi ‘jauh panggang dari api’ untuk dapat terpenuhinya kebutuhan gizi harian kelompok sasaran, belum terlembagakannya unit apa yang bertangungjawab dalam pengelolaan program ini, juga masih terdapatnya ‘asumsi sinis’ sebagai dampak munculnya berita negatif dari akses program ini, seperti adanya keracunan massal siswa setelah santap makanan pada program ini, soal rasa dan selera, dan lain sebagainya meskipun kasus tersebut bersifat lokal namun terpublikasi secara luas kepada publik di luar lokasi kasus tempat kejadian.
Program ini baik dan akan sangat membantu masyarakat utamanya kelompok sasaran, meskipun secara realitas masih sangat banyak yang harus dibenahi dan dipenuhi dalam upaya optimalisasi mewujudkan program menyiapkan sumberdaya manusia Indonesia songsong Indonesia Emas 2045.
Swasembada Pangan
Swasembada pangan adalah nama lain dari ketahanan pangan yang merupakan bentuk ketahanan Nasional bangsa Indonesia cerminan kemandirian bangsa ditengah-tengah kecemasan global akan kemampuan untuk memproduksi kebutuhan pokok sendiri akibat adanya perubahan iklim (climate change) akibat pemanasan global, penggunaan energi fosil, dan munculnya ketegangan beberapa kawasan akibat issue geopolitik maupun ekonomi dan perdagangan yang rentan berdampak pada kerjasama antar Negara.
Program swasembada pangan ini menjadi issue strategis yang menekankan/ fokus pada peningkatan kemampuan dan ketahanan pangan dengan memberdayakan petani lokal melalui intensifikasi maupun ekstenfikasi serta penyerapan hasil-hasil pertanian dengan harga yang kompetitif dan berkesesuian dengan kualitas produk hasıl pertanian sebagai kebijakan yang berpihak pada petani lokal, termasuk dalam menjaga supply and demand membatasi import hasil pertanian. Kebijakan ini bernilai strategis karena bukan saja dapat memberdayakan pertanian dalam negeri untuk menjaga ketahanan pangan, tetapi juga melalui kebijakan ini dapat meningkatkan kemampuan dan daya beli petani sekaligus juga dapat merangsang dan menggerakkan pertumbuhan ekonomi pedesaan yang merupakan daerah terbesar di Indonesia.
Sebagaimana program MBG, program swasembada pangan ini juga dirasakan masih terdapat kendala didalam implementasinya. Mewujudkan program ini masih butuh waktu penyelarasan dengan kebijakan rezim pemerintahan sebelumnya, contoh paling nyata di Lampung berkaitan dengan tata niaga singkong sebagai salah satu hasil pertanian yang dapat ikut dijadikan sebagai memperkuat swasembada pangan. Harga beli singkong ditingkat petani masih ‘tertekan’ dengan harga yang tidak memadai, persoalannya karena pabrikan menetapkan harga murah (tidak wajar), ketika pemerintah daerah mencoba menginisiasi kesepakatan harga beli yang lebih baik, justru dari pihak pabrikan seolah melakukan ‘perlawanan’ dengan aksi tutup pabrik dan tidak membeli singkong dari petani. Salah satu penyebab harga rendah ditingkat petani tersebut ditengarai karena masih ada import tapioka yang mempengaruhi ketersediaan bahan baku tapioka di dalam negeri, di Lampung khususnya.
Melalui “Asta Cita” dengan program 100 hari kerja Prabowo – Gibran ini hendaknya menjadi momentum untuk secara sistemik membenahi sekaligus memproyeksikan kepada masing-masing Pemda untuk sejak awal memprogramkan hilirisasi produk pertanian beserta turunannya yang bertujuan menjaga harga pasar, menambah nilai tambah (added value) produk pertanian, juga sebagai pihak yang dapat memelihara ‘keunggulan kompetitif’ bagi perusahaan swasta khususnya pada saat panen singkong dan hasil pertanian lainya sehingga harga produk pertanian tidak hanya diserahkan pada market mechanism saja, tetapi tata niaga dan tata kelola hasil pertanian itu juga ikut ‘ditata’ oleh pemerintah melalui program hilirisasi tersebut yang dapat menjadi entry way Pemerintah ‘intervensi’ untuk berpihak pada kepentingan petani lokal. Perwujudan kebijakan swasembada pangan ini selain menjalankan point ke-2, juga relevan dengan point ke-6 dari misi Asta Cita Prabowo – Gibran.
Pembenahan sistem kepemiluan
Pembenahan sistem kepemiluan yang merupakan bagian dari sistem politik Indonesia, merupakan ‘keinginan’ rakyat yang juga hangat dan menjadi perbincangan publik. Pemilu adalah mekanisme demokrasi mewujudkan kedaulatan rakyat untuk memilih dan menentukan kepemimpinan, dan wakil-wakil rakyat yang akan duduk pada lembaga Parlemen Nasional dan Daerah. Demokrasi konstitusional yang dianut Indonesia menempatkan peraturan perundangan kepemiluan sebagai landasan hukum penyelenggraan kepemiluan tersebut.
Penyelenggraan Pemilu 2024 (Pilpres, Pileg, dan Pilkada) dengan segala dinamika, kelebihan, kekurangan, telah menghasilkan sejumlah catatan baik secara philosopis maupun sosiologis mendorong untuk dilakukan evaluasi secara holistik, juga secara yuridis melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan menghilangkan persyaratan Presidential Threshold untuk pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2029 dan seterusnya, juga sebelumnya MK melalui Putusannya menyatakan bahwa Parlementary Threshold (PT) 4 % hanya dinyatakan konstitusional pada Pemilu 2024 dan tidak untuk Pemilu 2029 dan seterusnya, ini bermakna bahwa MK melalui Putusannya yang bersifat open legal policy menyerahkan pada pembuat UU untuk menentukan PT selanjutnya sepanjang tidak 4 % atau melebihinya, juga dimungkinkan persyaratan PT akan dihapuskan pada Pileg 2029 yang akan datang. Dengan demikian maka perubahan UU Pemilu baik secara philosofis, sosiologis, maupun yuridis terbuka dan menjadi tuntutan diadakan perubahan secara menyeluruh, termasuk dalam hal ini yang terkait dengan penyelenggraan Pemilu adalah Partai Politik yang menjadi pilar utama ‘peserta’ yang akan mengikuti Pemilu, juga Pemilu yang diselenggarakan untuk memilih Kepala Daerah sangat terkait dengan peraturan perundangan kepemiluan. Perbaikan peraturan kepemiluan meliputi UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Pilkada merupakan satu paket UU kepemiluan yang mendesak untuk di evaluasi dan diperbaiki.
Merespon kebutuhan tersebut, Pemerintah Pusat melalui Kemendagri RI juga DPR RI sudah mengambil langkah-langkah untuk menuju arah evaluasi dan perbaikan sistem kepemiluan kita melalui perubahan paket UU kepemiluan dimaksud. Otonomi Daerah yang diberlakukan pada daerah-daerah otonom pada Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, sepatutnya daerah-daerah juga melakukan langkah-langkah menghimpun aspirasi masyarakat untuk mengevaluasi dan merencanakan pelaksanaan Pemilu kedepan yang lebih baik sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan demokrasi masyarakat guna dituangkan melalui perubahan UU landasan hukum kepemiluan, juga melakukan langkah-langkah yang pada pokoknya dapat menghimpun dan menyerahkan aspirasi masyarakat. Langkah kearah ini meskipun secara akademik dan Putusan MK telah ‘merekomendasikan’ untuk didakan evaluasi dan perubahan terkait UU kepemiluan, tetap akan menghadapi tantangan khususnya mereka yang ‘merasa nyaman’ dengan hasil Pemilu melalui sistem kepemiluan yang berlaku seperti sekarang ini.
Membaca publikasi survey Kompas terkini menampilkan approval rating (tingkat kepuasan) publik terhadap 100 hari Pemerintahan Prabowo – Gibran berada di atas 80 %, namun beberapa catatan yang dapat dibaca dari program 100 hari Pemerintahan Prabowo – Gibran dengan menjadikan ‘Asta Cita’ untuk mewujudkan visi “Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045” sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI ke delapan dalam pelaksanaannya senantiasa dinamis dengan segala kelebihan dan kelemahannya dan tetap membutuhkan saran dan masukan guna mewujudkan pelaksanaannya yang lebih baik dan berhasil guna sebagaimana tujuan pelaksanaan program tersebut. /seno
Red