BALI, jnnews.co.id I Bali, pulau yang selalu memikat hati, bukan hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena daya tarik ekonominya yang besar. Setiap tahun, jutaan wisatawan datang untuk menikmati pesona pantai, budaya, dan kehangatan masyarakatnya.
Bagi banyak orang, Bali bukan sekadar tujuan wisata, tetapi juga tempat untuk mencari peluang, membuka usaha, dan meraih impian melalui sektor pariwisata yang terus berkembang.
Namun, seiring pesatnya pertumbuhan ekonomi ini, muncul tantangan besar untuk menjaga keseimbangan antara keuntungan dan pelestarian budaya yang menjadi kekayaan tak ternilai dari Pulau Dewata ini.
Di balik pesona Bali yang menggoda, terdapat sisi yang sering terlupakan. Banyak orang datang dengan harapan besar, mengandalkan kemampuan bahasa Inggris atau keahlian lainnya untuk meraih kesuksesan.
Beberapa berhasil menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar, namun tak sedikit yang terjebak dalam spekulasi mencari keuntungan tanpa menyadari bahwa Bali lebih dari sekadar destinasi pariwisata.
Pulau ini juga kaya akan budaya dan tradisi yang sudah ada sejak lama. Lantas, sejauh mana mereka memahami nilai sejati Bali? Apakah mereka hanya datang untuk mencari keuntungan, ataukah mereka juga ikut menjaga dan menghormati warisan budaya yang menjadi jati diri Pulau Dewata ini?
Putu Winastra, Ketua ASITA DPD Bali, menekankan pentingnya pengembangan produk wisata Bali yang tidak hanya terbatas pada destinasi, tetapi juga mencakup sektor transportasi dan perhotelan. Menurutnya, untuk memastikan keberlanjutan pariwisata Bali, semua aspek tersebut harus berkembang secara seimbang dan saling mendukung.
“Penting bagi Bali untuk menjadi destinasi pariwisata berkualitas. Produk wisata yang ditawarkan harus memenuhi standar yang terukur dan terstandarisasi,” ungkap Winastra, Sabtu (14/12/2024). Dengan fokus pada kualitas, Bali diharapkan dapat terus menarik wisatawan sekaligus menjaga daya tariknya sebagai destinasi unggulan.
Putu Winastra menjelaskan bahwa standarisasi produk wisata sangat penting untuk memberikan rating yang jelas, mulai dari Bintang 1 hingga Bintang 5, yang dapat menjadi panduan bagi wisatawan dan pengusaha pariwisata. Menurutnya, pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus menunjuk institusi yang berkompeten untuk melakukan proses sertifikasi tersebut.
“Sertifikasi ini seharusnya tidak berbayar, agar tidak disalahgunakan untuk keuntungan pribadi,” tegas Winastra. Dengan adanya standarisasi yang jelas, diharapkan pengelola destinasi wisata lebih fokus pada peningkatan kualitas dan pengelolaan yang sesuai dengan standar yang berlaku.
Putu Winastra menegaskan bahwa semua produk wisata di Bali harus disertifikasi untuk memastikan kualitas yang konsisten.
“Dengan sertifikasi, setiap orang yang bekerja di bidang pariwisata akan memiliki standar yang jelas,” ungkapnya. Ia juga mengkritik kurangnya profesionalisme di sektor ini, “Saat ini, tanpa standar yang jelas, banyak pekerja yang tidak profesional, seperti sopir yang mengenakan celana pendek dan sandal jepit, atau pemandu wisata yang tidak memiliki lisensi,” tambahnya. Sertifikasi diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme di sektor pariwisata Bali.
Di akhir pembicaraannya, Putu Winastra menekankan bahwa untuk menjaga kualitas pariwisata Bali sebagai destinasi wisata budaya, setiap pekerja di sektor ini harus memiliki sertifikasi yang sesuai.
“Kami di ASITA Bali terus mendorong pemerintah untuk segera mewujudkan ini,” tegasnya.
Menurutnya, penerapan sertifikasi merupakan langkah krusial untuk memastikan pariwisata Bali berkembang secara berkelanjutan, sambil tetap menghormati nilai-nilai budaya yang menjadi kekayaan pulau ini. Dengan standar yang jelas, Bali diharapkan tidak hanya mempertahankan reputasinya sebagai destinasi wisata unggulan, tetapi juga mengutamakan pelestarian budaya dan kualitas layanan yang menjadi daya tarik utama bagi wisatawan.(jnnews).
Editor : Putu Gede Sudiatmika.