BeritaDaerah

Dugaan Kriminalisasi Terhadap Ketua Ormas P3S Efsyah alias Acek dan Dedi, Advokat Desri Nago Akan Melapor Ke Propam Polda Sumsel

Palembang, (JNNews) -Terkait dugaan dikriminalisasi terhadap Ketua Ormas Pengabdian Putra Putri Sriwijaya (P3S) Efsyah alias Acek dan Dedi yang terjadi di jalan Tanjung Aur dekat SD Negeri 14 Palembang.

Kuasa hukum Desri Nago, SH bersama didampingi advokat Philipus Pito Sogen. S.H, Ilham Wahyudin, SH, Rizky Tri Saputra,SH, menggelar konfrensi pers di Kantor Hukum Desri Nago, SH dan rekan-rekan, Kamis (25/4/2024).

Desri Nago, SH mengatakan, hari ini pihaknya mengadakan konfrensibpers terkait persoalan klien kami dengan surat kuasa atas nama Efsyah alias Acek dan Dedi dengan dugaan dituduhkan pasal 170 oleh unit pidum Polrestabes Palembang.

“Awal peristiwa kejadian adalah di kecamatan Tanjung barangan ini tempat lintas mobil angkutan tanah yang bukan kelasnya dan grade jalannya yang tertuang dalam undang-undang nomor 22 tahun 2009. Menurut pendapat saya sebagai kuasa hukum di media dan aktivis bahwa jalan ini bukan pada tempatnya. Kalau ingin paparan silakan panggil ahli dirjen jalan dan ahli dinas terkait. Jadi masyarakat di sini sudah geram dengan adanya seperti monster-monster besi atau dam truk pengangkut tanah ini sangat mengganggu aktivitas dan sangat membahayakan. Karena apabila dibiarkan akan terjadi pembunuhan berencana oleh mobil-mobil truk ini kalau penegak hukum membiarkan,” ujarnya.

“Jadi di sini ada ketua ormas Ketua Ormas Pengabdian Putra Putri Sriwijaya (P3S) Efsyah alias Acek dan Dedi. Disini ada SD negeri 14 yang dilintasi dan truk tersebut sampai ke Tanjung barangan, yang tidak elok dan tidak etis diduga juga galian ini perizinannya tidak menentu . Kemudian berinisiatiflah karena ini sudah berlarut-larut lembaga kontrol sudah aksi lingkungan hidup namun sepertinya pemerintah kota Palembang sepertinya diam seperti mati suri. Jadi dalam momen ini sekitar satu bulan yang lewat mereka melakukan aksi damai terjadilah kesepakatan terjadilah kesepakatan bahwa mobil itu diperbolehkan lewat dari jam 08.00 pagi sampai jam 04.00 sore. Perlu diketahui juga bahwa aktivis penggiat sosial sudah membuat kekuatan aksi solidaritas dugaan untuk tidak mendapatkan keadilan saudara Efsyah alias Acek dan Dedi,” tambahnya.

Desri menuturkan, pengemudi ini adalah tumbal. Mereka adalah umpan di sini.

“Kami melihat mungkin selepas tidak lagi dari aksi karena masyarakat memang kita berdomisili di sini melihat ada pelanggaran kesepakatan bahwa dari jam 08.00 pagi sampai jam 4 sore lewat. Karena berbantah-bantah akan ditangkap apakah sopir dam truk Itu polisi atau apa oknum polisi atau apa makalah terjadi ribut . Tapi dikenakan pasal 170. Ini menyebabkan galian-galian bebas di sini intinya adalah lalu lintas. Jadi kita melihat di sini ada ketidakadilan karena saudara Acek ini ketua umum P3S,” katanya.

-

“Atas keributan cekcok mulut itu melapor lah ke Polrestabes Palembang atas dugaannya penganiayaan. Dan dengan mudah laporan diterima

“Bagaimana sistemnya pada tanggal 2 April terjadi pelaporan Acek cs. Jadi pada saat dilaporkan tanggal 2 dilaporkan oleh saudara bernama inisial d. Perjalanan proses sekitar 1 bulan menurut aturan kuhap yang berlaku kepolisian boleh melakukan upaya paksa tapi dengan aturan 1 pasal 122 jelaskan orang yang dipanggil wajib datang ke penyidik jika ia tidak datang maka penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah pada petugas untuk memanggil lagi,” bebernya.

Desri menambahkan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan propam Polda Sumsel bentuk tulisan fisik sudah.

“Kita akan melapor ke Propam Polda Sumsel. Aktivis, media sudah menggalang kekuatan untuk atas nama mencari keadilan karena ini menyangkut marwah rekan profesi kita kontrol sosial. Saya berjuang atas nama keadilan ini di negara Indonesia ini berlaku KUHAP di wilayah Indonesia. Saya bergerak atas nama undang-undang. Kami dilindungi undang-undang advokat pasal 16 nomor 18 tahun 2003, agar pidum tahu atau advokat dilindungi undang-undang yang disahkan Mahkamah Agung dan lindungi undang-undang. Karena sepertinya Pidum itu buta dengan hukum,” bebernya.

Sementara itu, Ilham Wahyudin SH mengatakan, pasal 227 KUHAP menjelaskan semua jenis pemberitahuan oleh pihak berwenang oleh tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi lakukan selambat-lambatnya 3 hari tanggal hadir ditentukan di tempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir.

“Bahwa klien kami ini dilaporkan pada tanggal 2 April . Bahwa tidak adanya pemanggilan pemanggilan surat lainnya dan puncaknya pada tanggal 22 klien kami dijemput paksa oleh anggota Polrestabes Palembang dengan alasan untuk dimintai keterangan. Setelah sampai di Polrestabes selain kami di BAP atau diklarifikasi atau tersangka. Setelah di BAP langsung gelar perkara tanpa adanya mediasi. Dalam gelar perkara tidak dihadiri oleh pelapor,” bebernya.

“Untuk diketahui menurut ahli hukum, gelar perkara adalah bagian dari peradilan gelar perkara adalah bagian proses peradilan terpadu. Gelar perkara dilakukan penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor, jika tidak dihadirkan maka gelar perkara yang dilakukan dapat dinyatakan cacat hukum. Dan pada hari itu juga sesudah digelar perkara klien kami langsung ditetapkan sebagai tersangka. Ditetapkan sebagai tersangka langsung ditahan di Polrestabes. Sedangkan surat penahanan itu diterima esok harinya oleh pihak Polrestabes Palembang. Kami di sini meminta keadilan kepada Kapolda Sumsel dengan pelanggaran dalam berhukum acara pidananya atau prosedur,” tuturnya.

“Berdasarkan aturan Perkapolri nomor 6 tahun 2019 dijelaskan, gelar perkara ini proses penyidikan. Peserta gelar perkara adalah pelapor dan terlapor, dan untuk penyelidikannya pemeriksaan saksi itu setelah gelar itu sangat aneh sekali bagi kami,” ucapnya.

Philipus Pito Sogen. S.H, menjelaskan pada tanggal 22 April pada saat itu kliennya dipanggil lalu dibawalah ke Polrestabes Palembang. Setelah diperiksa di hari yang sama langsung ditetapkan sebagai tersangka.

“Bahwa berdasarkan Pasal 184 KUHAP kemudian di sempurna kan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 menyatakan orang tersangka harus memenuhi 2 alat bukti yg sah.
Untuk penetapan tersangka harus dilakukan profesional, agar tidak penyalahgunaan wewenang. Tidak ada intervensi menjadikan orang sebagai tersangka. Kita minta transparannya itu,” katanya.

“Kita paparkan soal di dalam KUHAP tersebut dijelaskan mengenai hak-hak tersangka salah satunya adalah dalam hal penyelidikan penyidik harus harus menjelaskan secara jelas hal-hal apa saja yang menyebabkan dia ditangkap. Artinya di sini kita merujuk pada pasal 133 KUHAP mengenai keterangan ahli dalam hal ini dokter. Maka dokter di sini mengeluarkan hasil visum berarti kalau dokter mengeluarkan visum artinya tersangka berhak mendapatkan hal itu. Karena berkaitan dengan pasal 170 ayat 1 dan ayat 2 yang disangkakan kepada klien kami ini ini berkaitan dengan penganiayaan yang menyebabkan luka. Kalaupun dijadikan tersangka harus ada bukti dulu minimal buktinya harus ada visum. Tapi pada saat kami mempertanyakan hasil visum tapi kita dipersulit. Padahal itu harus diberikan karena itu hak dari tersangka,” urainya.

Ditempat yang sama, Rizky Tri Saputra,SH, menjelaskan pasal 170 ini di mana penganiayaan mereka ini sepertinya untuk pembuktiannya ini mungkin dari sebuah video yang diberi oleh sopir tersebut.

“Pada saat ada warga yang ingin menghalau, karena sopir ini melewati jam operasional diluar jamnya. Berarti mereka di sini memang niat sopir ini membuat keributan di sana. Untuk dugaan kekerasan tidak semua kekerasan dikenakan pasal 170, apalagi hanya cekcok keributan saja,” tandasnya. (Red*)

About Author

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
https://jnnews.co.id/