BeritaDaerah

Eflianty Analisa Diamanahkan Menjadi Kepala Stasiun TVRI Sumsel, Banyak Yang Dilalui Hingga Mencapai Jabatan Ini

Palembang,JNNews.co.id –Kepala Stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) Sumatera Selatan (Sumsel), Eflianty Analisa diamanahkan untuk menjadi jabatan Sebagai Kepala Stasiun TVRI Sumsel, dirinya siap wujudkan tata kelola yang berkelas dunia

Saya dilantik sebagai Kepala Stasiun TVRI Sumsel yang dipusatkan di TVRI Senayan pada 18 Agustus 2023. Saya diamanahkan menjadi Kepala Stasiun TVRI Sumsel.

Ada berbagai terobosan yang akan saya buat untuk membawa TVRI Sumsel agar lebih maju, demikian diutarakan Kepala TVRI Sumsel Eflianty Analisa dengan awak media saat diwawancarai.

Dikatakan Kepala Stasiun TVRI Sumsel Eflianty Analisa, sebagai putri daerah yang lahir di Palembang dan orang tua asal usul dari Sumsel dia senang kembali bertugas di Sumsel. Singkat cerita awal saya masuk TVRI tahun 1991 akhir atau awal tahun 1992. Awalnya ikut tes penyiar pada saat saya mahasiswa akhir di Universitas Sriwijaya (UNSRI).

“Kebetulan saat itu bergabung ke TVRI, saat saya masih menjadi mahasiswa Unsri. Saya sering menjadi komandan upacara karena saya masuk menjadi pengibar pasukan bendera (paskibraka) angkatan tahun 1988,” ujarnya.

Kemudian, tapi pada saat itu di tahun 1991 saya ditugaskan upacara di Unsri tapi karena saya sakit saya tidak bisa membawa bendera saat itu. Jadi kata pembimbing saya jadi pembawa acara saja. Jadi telepon pertama kali ditugaskan sebagai pembawa acara, dan kata pembimbing sepertinya suara saya bagus. Sehingga diminta untuk mencoba tes penyiar.

“Jadi ikut penyiar di tahun 1991 akhir. Dari 700 orang yang ikut tes yang diterima dua orang yakni saya dan Rika. Dan Rika itu juga lulusan Unsri Ekonomi dan sekarang Kepala Stasiun TVRI Bengkulu,” ungkapnya.

-

Dilanjutkannya, mereka berdua tahun 1992 bergabung di TVRI masih status mahasiswa akhir. Saya itu ditugaskan menjadi penyiar, reporter, dan kami juga menjadi pewawancara. Jadi itulah kami menjadi penyiar itu dari tahun 1992 sampai tahun sampai 1994. Karena di tahun saya 1994 saya berkeluarga, kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di tahun 1997 tetap sebagai editor.

“Tetap di bagian berita, tetap ke lapangan, hingga menjadi kepala pengarah acara sampai tahun 2014. Jadi dari tahun 2004 sampai 2014 sekitar 10 tahun saya menjadi kepala seksi atau kasi di TVRI Sumsel. Tapi berganti terus atau dimutasi rotasi sebanyak 3 kali sebagai kepala seksi (kasi),” katanya.

Masih dilanjutkannya, selain itu saya juga menjadi dosen luar biasa di IAIN waktu itu di Fakultas Dakwah untuk pelajaran jurnalistik dan statistik sekitar 10 tahun sampai dengan tahun 2014. Ditahun 2014 dia dipromosikan menjadi pejabat eselon III tapi harus di Kantor TVRI Pusat, sekitar 7 tahun di eselon III, kemudian 2 tahun terakhir saya di eselon II. Jadi jabatan eselon II sebagai Kepala Stasiun untuk TVRI tipe A itu eselon II.

“Sama seperti di pusat saya sebagai Kepala Puslitbang itu eselon II, jadi dimutasi kesini bukan promosi hanya mutasi rotasi saja. Karena kalau di TVRI Pusat namanya Kepala Puslitbang atau Kepala Pusdiklat atau Kepala Pengawas Intern,” ucapnya.

Masih diungkapkannya, pengalamannya selama berkarir, saya yang merupakan lulusan Sarjana Strata I di Unsri Fakultas Pertanian Angkatan 1989 yang paling banyak suka dukanya saat bertugas di Jakarta. Karena dia harus jauh dari anak-anak, karena anak-anak tetap di kota Palembang bersama bapaknya. Saya di Jakarta sampai dilantik beberapa menjadi Kepala Stasiun TVRI Sumsel itu 9 tahun 5 bulan. Jadi meninggalkan anak saya sekitar 10 tahun itu ya mereka mandiri.

“Tetapi tetap banyak juga suka dan dukanya karena bukan hal yang mudah jauh dari keluarga, jauh dari suami dan jauh dari anak-anak. Banyak pengalamannya karena sendiri di Jakarta jauh dari anak-anak secara fisik terus bekerja juga sendiri memang membuat kita menjadi lebih banyak sabar dan membuat kita menjadi lebih banyak meluangkan waktu untuk belajar,” imbuhnya.

Masih disampaikannya, termasuk untuk belajar agama, mendalami ilmu agama mendalami bacaan-bacaan Alquran. Disana mungkin ada untungnya dan manfaatnya, pengalaman 10 tahun LDR itu bahwa saya merasakan benar-benar hanya Allah yang mengatur hidup manusia. Seberapapun kita ingin, seberapa pun kita mau, kalau kata Allah tidak, maka tidak terjadi. Sehingga Allah lah penentu semuanya dan sebenarnya takdir setiap manusia itu sudah ditakdirkan Allah jauh sebelum kita ada.

“Jadi sebenarnya kita harus ikhlas menghadapi apapun, menerima apapun apa yang sudah ditakdirkan hidup kita. Jadi tugas kita hanya berusaha tapi ketentuannya Allah yang menentukan semuanya. Sehingga kalau kita bergembira jangan terlalu bergembira. Karena setelah gembira itu pasti ada sedihnya,” bebernya.

Ditambahkannya, begitu pula sebaliknya kalaupun sedih juga kita tidak terlalu sedih karena sedih itu pun sebenarnya Allah mengurangi dosa-dosa kita. Selain itu, sedih itu membuat kita menjadi tegar. Kalau saya memang benar-benar saya terima sebagai takdir dari Allah karena itu merupakan rukun iman. Selian itu tidak mesti semua yang diinginkan dan senangi itu harus didapat. Sebagai contoh, seberapapun kita sayang kepada orang tua kita kalau sampai janjinya orang tua jadi kita harus lepaskan juga.

“Karena dalam agama kita disebutkan kadang-kadang orang kita sayangi, dan orang yang dekat dengan kita itu ada ujian untuk kita agar kita lebih baik lebih tawakal. Saat diberi amanah kembali bertugas di TVRI Sumsel, saya merasa pulang kampung. Karena hampir sebagai sebagian besar teman-teman di sini dia kenal,” jelasnya. (DNL)

About Author

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
https://jnnews.co.id/