Way Kanan-Lampung, (Jnnews) | Berbagai persoalan yang terjadi disepanjang jalan Lintas Sumatera khususnya di Way kanan terkait dipergunakannya jalan tersebut oleh pengangkutan Batu Bara dan bahkan kerap menyulut demonstrasi seperti yang digelar oleh Ormas Laskar Merah Putih Indonesia Cabang Way Kanan Kamis malam jumat lalu (8/7/2024), tepatnya di Tugu Simpang Empat Negeri Baru, Kecamatan Umpu Semenguk, Kabupaten Way Kanan, konon aksi tersebut katanya dilakukan untuk menegakkan aturan bahwa angkutan batubara dilarang melintas di jalan umum, khususnya di sepanjang Jalan Lintas Sumatera Kabupaten Way Kanan, bahkan kerap terjadi kericuhan, padahal jalan lintas sumatera adalah jalan milik Negara yang artinya semua warga Negara berhak memakai dan menggunakannya.
Terkait hal itu, Ketua DPP EMPPATI RI, Muhammad Djalal Hafidz A., S.H., memberikan tanggapannya dengan harapan masyarakat dan pengguna jalan umum dapat memahami dan tidak gagal paham tentang regulasi yang diributkan tersebut sesuai dengan yang ia pahami, namun sebelumnya Djalal juga meminta para pihak yang kerap berbeda pandangan dan pendapat untuk bersabar dan mengambil banyak pelajaran dari kejadian itu.
“Saya sampaikan pandangan ini secara netral untuk kita pahami bersama dimana yang pertama, mengenai aturan demo, menurut Djalal, Demo (menyampaikan pendapat), salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh Negara dimana Pasal kebebasan berpendapat diatur dalam UUD 1945 Pasal 28. Adapun bunyi Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Dan mengenai unjuk rasa/demo diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Selanjutnya, penyampaian pendapat di muka umum ( Demo red ), wajib diberitahukan secara tertulis kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”). Pemberitahuan secara tertulis tersebut disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok Termaktub dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU 9/1998.
Pemberitahuan disampaikan selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. Pemberitahuan secara tertulis ini tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
Termaktub dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4) UU 9/1998. Mengenai tempat waktu demonstrasi, Aksi demo hanya dapat dilakukan di tempat terbuka antara pukul 06.00 s.d. pukul 18.00 waktu setempat, dan di tempat tertutup antara pukul 06.00 s.d. pukul 22.00 waktu setempat, termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) Perkapolri 7/2012. Berdasarkan uraian peraturan mengenai demonstrasi,
“Adanya tenggat waktu untuk melakukan aksi, ini harus diketahui oleh massa yang mengelar aksi, terlebih sepengetahuan saya pribadi, terdapat SKB FORKOPIMDA Way Kanan yang menetapkan bahwa kendaraan yang mengangkut batubara (“HAULING BATUBARA”) melintas di malam hari, artinya pada waktu kejadian memang waktunya angkutan batubara melintas. Selama belum adanya keputusan yang berkata lain tidak boleh diambil tindakan sepihak terkait hal tersebut, apalagi memutuskan untuk memutarbalikkan paksa angkutan batubara. Kemudian jika menilik lebih dalam mengenai tempus demonstrasi menurut peraturan perundang-undangan ataupun Perkapolri yang berlaku, tidak mungkin pihak kepolisian mengizinkan massa aksi melakukan demonstrasi hingga malam hari”, terang Djalal HA, SH.
“Kemudian yang kedua lanjutnya, bila menilik dari sisi Surat Edaran (“SE”) yang juga menjadi dasar hukum yang ingin ditegakkan massa aksi, kami memiliki pendapat lain, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 7 membagi jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berurutan dari yang derajat tertinggi, yaitu; UUD Negara RI Tahun 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/PerPU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/kota. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan herarki tersebut. Dari yang palinggi tinggi hingga yang paling rendah kekuatan dan keberlakuannya.
“Dalam hukum terdapat Asas lex superior derogate legi inferiori dapat diartikan bahwa peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi, yang artinya Surat Edaran tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, dan hanya memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap mendesak. Sebagaimana disebutkan dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas, cetakan Edisi I Januari 2004 dan Peraturan Menteri (Kemenpan) Nomor 22 Tahun 2008.
Lalu berdasarkan Permendagri No. 55 Tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan bahwa SE adalah naskah Dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan, dan/ atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Surat Edaran tidak juga dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, bukan juga suatu norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga Surat edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan menteri, apalagi peraturan berhierarki lainnya. Surat edaran lebih dapat diartikan sebagai surat pengantar untuk mengantarkan suatu produk kebijakan dan di dalam isinya tidak merubah, tidak menambah-nambahi, tidak menganulir peraturan yang dihantarkannya, sehingga peraturan yang dihantarkan tetap utuh dan tidak bermakna ambigu (ganda) akibat dari surat edaran dimaksud.
Kemudian Djalal menjelaskan UU yang selalu dipertanyakan masyarakat terkait hauling batubara, yaitu UU No. 3 Tahun 2020 tentang perubahan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba. Pada pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) hauling batubara tidak boleh melintas di jalan umum, akan tetapi pada Pasal 91 ayat (3), dijelaskan bahwa Dalam hal jalan Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak tersedia, pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan sarana dan prasarana umum termasuk jalan umum untuk keperluan Pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga sebenarnya menurut kami hauling batubara di jalan umum tetap dapat dilakukan dikarenakan jalan umum juga merupakan fasum, dimana dana yang digunakan juga salah satunya berasal dari pajak yang juga ditarik dari pengusaha batubara”.
Lalu terkait dengan APH Way kanan, Ketua DPP EMPPATi RI tersebut dengan tegas menilai bahwa APH harus menegakkan peraturan secara TEPAT, artinya melihat dari kericuhan yang terjadi, harus dilihat betul dari sisi SEBAB kejadian tersebut bisa terjadi. Karena Hukum Pidana akan selalu melihat sebab-akibat kemudian di komparasi dengan unsur-unsur pidana yang terdapat dari perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang. Serta, APH harus menerapkan Asas Praduga Tak Bersalah atau yang lebih dikenal dengan istilah “Presumption of Innocence” Dalam hukum acara pidana, asas praduga tak bersalah diatur dalam Penjelasan Umum Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) butir 3 huruf C. Selain itu, UU Kehakiman No. 48 Tahun 2009 mengatur asas ini dalam Pasal 8 ayat (1). Artiny kami berharap bahwa memang APH memberikan solusi yang tepat, dan juga apabila diperlukan adanya sanksi pidana nantinya harus dijatuhkan sesuai dengan yang seharusnya tanpa melihat dari isu yang berkembang saja atau salah satu sisi saja, ingat nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang memiliki arti bahwa, tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas aturan pidana. Sehingga apabila nantinya akan dilakukan suatu tindakan hukum oleh APH gunakan prosedur yang seharusnya”, pungkas Ketua DPP EMPPATI RI ketika dikonfirmasi terkait kericuhan yang kerap terjadi dijalan Lintas Sumatera Way Kanan atas adanya angkutan Batu Bara yang melintasinya.
Diterangkan diduga aksi kericuhan yang terjadi di Kampung Negeri Baru Kecamatan umpu Semenguk saat ada Aksi damai Ormas LMPI berawal dari demonstrasi dilaksanakan hingga malam hari, (salahi Aturan-red), sehingga pada pukul 19.47 WIB. terdapat sekelompak masyarakat yang pro akan batubara mendatangi massa aksi. Hal tersebut terjadi lantaran massa aksi memaksa untuk memutarbalikkan angkutan batubara yang melintas, dimana hal yang demikian dinilai sudah melampaui kapasitas dari massa aksi, karena untuk melakukan suatu tindakan yang menimbulkan akibat hukum merupakan ranah APH, sedangkan masyarakat aksi seharusnya hanya mengawal prosesnya. Terlebih selama belum ada keputusan terkait hal yang dimintakan, tidak diperbolehkan diambil keputusan sepihak yang berakibat hukum. Himbauan dari APH sudah diberikan kepada massa aksi terkait tenggat wakti demonstrasi, akan tetapi massa aksi tetap ingin melanjutkan aksi dengan segala risikonya.
Setelah tidak adanya titik temu antara massa aksi dan masyarakat pro batubara, dan tindakan sepihak yang dilakukan massa aksi, lalu terjadilah kericuhan/bentrok yang menyebabkan adanya korban luka-luka dari kedua belah pihak. Bahkan vidio dari kejadian tersebut sudah menyebar luas, akan tetapi masyarakat pro batubara menilai vidio yang disebarluaskan tidak lengkap sehingga hanya menimbulkan efek negatif atau tanggapan negatif ke masyarakat pro batubara.
“Jadi anggota aksi yang terluka itu terlebh dahulu melakukan pemukulan terhadap beberapa anggota masyarakat yang pro batubara yang mendatangi massa aksi, sehingga memantik kericuhan hingga tidak terkendali”, ujar H dan Bd dua orang saksi mata yang dikonfirmasi RMLG dan bahkan menurut USM Saksi yang lain yang saat itu sedang beerja disekitar lokasi menyatakan yang memulai konflik adalah pihak pendemo, semebari memutarbalikkan truk yang mengangkut Batubara secara paksa yang seharusnya menjadi tugas APH baru kemudin terjadi salaing pukul , namanya ricuh ,” tutur USM. /seno
Red