Krama Desa Adat Batur Jemput Patulangan Jero Gede Kawanan
Prosesi Mendak Patulangan dengan Iringan Gong dan Tradisi Sakral
BATUR, jnnews.co.id I Ribuan krama tumpah ruah di sepanjang jalan, menyaksikan dan turut serta dalam prosesi mendak (menjemput) Patulangan Kang Palinggih Dane Jero Gede Kawanan (Alitan) Batur, Kamis (23/1/2025).
Dengan iringan suara gong yang menggema dan ritual sakral panyamleh, prosesi ini berlangsung khidmat di Pertigaan Batur-Payangan, tepat di depan SDN 1 Batur. Tradisi adat ini mencerminkan nilai spiritual dan kebersamaan masyarakat yang tetap terjaga hingga kini.
Sebelumnya, patulangan (pembakaran jenazah) berbentuk raja ikan ini dibuat di Puri Saren Campuhan, Ubud. Sekitar pukul 16.00 WITA, masyarakat adat Batur menjemputnya menggunakan truk pengangkut. Iring-iringan patulangan tersebut diikuti mobil VW dan puluhan jeep dari komunitas jeep tour Batur, melewati rute Ubud-Kedewatan-Payangan-Bayunggede-Batur. Masyarakat Desa Adat Bunutan, Gianyar, juga turut membantu kelancaran proses iring-iringan.
Iring-iringan patulangan menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam sebelum tiba di Pertigaan Batur-Payangan. Di tengah udara dingin, ribuan masyarakat telah menunggu dengan penuh antusias, membawa bakti panyamleh, Gong Gede Batur, mamas-pangawin, dan uparengga lainnya. Setibanya di lokasi, patulangan diturunkan dan diarak menuju Jaba Pura Ulun Danu Batur oleh Tempek Jero Batu Dangin Desa Adat Batur.
Manggala Undagi Bade dan Patulangan Kaang, Prof. Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati, S.E., M.M., menyampaikan bahwa Patulangan Kaang memiliki keistimewaan khusus untuk Palinggih Dane Jero Gede Alitan.
“Saya pernah bertanya kepada Ida Nak Lingsir, dan Patulangan Kaang ini memang hanya digunakan untuk memuliakan orang yang paling dimuliakan. Palinggih Dane Jero Gede Alitan sangat pantas menggunakan Patulangan Kaang ini sebagai sosok yang paling diutamakan,” ungkapnya.
Prof. Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati menjelaskan bahwa Patulangan Kaang dibuat menggunakan material seperti kayu, bambu, dan berbagai hiasan lainnya. Kayu utamanya dipilih dan disiapkan langsung oleh Jero Gede Batur Alitan berdasarkan wasiat sebelumnya.
“Proses pembuatannya memakan waktu sekitar dua minggu dan dikerjakan setiap malam hingga pukul 1 dini hari, bersamaan dengan pembuatan bade tumpang sembilan,” jelasnya.
Tjokorda Gde Raka Sukawati, menyampaikan bahwa Bade Tumpang Sia dan Patulangan Kaang yang digarap merupakan bentuk pengabdian kepada Ida Bhatari Dewi Danuh, yang bersetana di Pura Ulun Danu Batur dan secara sakala mewujud sebagai Jero Gede Batur.
“Ini adalah bakti kami kepada Ida Bhatari Sesuhunan di Batur. Sebagai pangayah di Pura Gunung Lebah Campuhan Ubud, yang juga merupakan setana Ida Bhatari Batur, momen ini menjadi motivasi untuk ngaturang ayah sekaligus menjaga kekerabatan antara Batur dan Ubud yang telah terjalin sejak lama,” ungkapnya.
Pangemong Pura Ulun Danu Batur, Jero Penyarikan Duuran Batur, mewakili Jero Gede Duhuran Batur, menjelaskan bahwa Patulangan Kaang dan Bade Tumpang Sia digunakan sebagai penghormatan terakhir ketika Palinggih Dane Jero Gede Alitan Batur Alitan wafat. Hal ini sesuai dengan lontar Pratekaning Usana Siwa Sasana, bagian dari lontar Rajapurana Pura Ulun Danu Batur.
“Dalam lembar 19 lontar Pratekaning Usana Siwa Sasana disebutkan bahwa Jero Gede Batur, sebagai panyunggi Ida Bhatara Sakti Batur dan seorang danghyang, layak menggunakan Bade Tumpang Sia dan Patulangan Kaang. Untuk Jero Gede Duhuran, dibenarkan menggunakan Tumpang Solas (Sebelas) dan Lembu, serta bandusa tumpang salu dan mamanah toya di Pura Jati,” jelas Jero Penyarikan, yang juga akademisi di Prodi Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana.
Penggunaan Bade dan Patulangan Kaang juga diperkuat dengan konsep Jero Gede Batur sebagai Dalem Sesanglingan, representasi Dalem Bali untuk masyarakat subak dan Bali Pegunungan. Oleh karena itu, kajang yang digunakan dalam upacara palebon Jero Gede Alitan adalah Kajang Dalem yang secara khusus dianugerahkan langsung oleh Dalem Klungkung.
“Jero Gede Batur, dalam susastra kami, adalah seorang raja rsi dengan posisi yang sangat sentral bagi masyarakat agraris subak dan Bali Pegunungan. Hal ini juga tercermin dalam lontar Catur Dharma Kalawasan dan berbagai tradisi di desa Batun Sendi Batur,” pungkasnya.
Upacara ini tidak hanya menjadi wujud penghormatan, tetapi juga simbol kuatnya ikatan spiritual dan tradisi masyarakat Bali yang tetap hidup dan dijaga hingga kini.(jnnews).
Editor : Putu Gede Sudiatmika.