Oleh : Dr. Wendy Melfa
Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL)
Penggiat Ruang Demokrasi ( RuDem )
Lampung, KIK – OFF KONSOLIDASI
Dibacakannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor 62/PUU-XXII/2024 tanggal 2 Januari 2025 yang pada pokoknya “Menyatakan norma Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, adapun ketentuan Pasal 222 dimaksud berkaitan dengan syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Presidential threshold) dapat diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan dukungan minimal 20 % kursi DPR atau 25 % dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR pada Pemilu sebelumnya. Sehingga dengan demikian, pernyataan MK melalui Putusannya tersebut berimplikasi hukum mencabut ketentuan Presidential threshold untuk Pemilu Presiden yang akan datang dan seterusnya dimulai dari tahun 2029. Atau dalam bahasa praktis politik, Pemilu Presiden kedepan memberikan ruang dan kesempatan kepada semua Partai Politik peserta Pemilu dapat mengajukan dan mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden.
Putusan MK ini bukan saja dirasakan sebagai kado tahun baru memasuki tahun 2025, tetapi juga dimaknai sebagai angin segar demokrasi yang sejak lama diupayakan untuk didapatkan setidaknya setelah melalui lebih dari 32 kali gugatan melalui MK dengan pemohon berbeda yang selalu saja kandas, tetapi juga dimaknai sebagai hadirnya langkah awal konsolidasi demokrasi menuju perbaikan sistem Pemilu dan sistem Politik Indonesia bukan saja terdapat sejumlah catatan pelaksanaan demokrasi kita yang sudah berjalan lebih dari 25 tahun pasca reformasi 1998 yang mengharuskan untuk dilakukan evaluasi dan penyempurnaan dan juga sejumlah UU yang menjadi landasan sistem politik kita butuh up date dan penyegaran setelah Pemilu 2024 yang lalu kita stagnan dan “tetap” menggunakan UU bidang politik yang juga digunakan pada Pemilu 2019, padahal kehidupan bidang politik dan demokrasi itu sangat dinamis mengikuti perkembagan masyarakatnya. Kehidupan dan proses politik tentu berimplikasi pada hukum, karena hukum merupakan resultante proses politik.
REKAYASA HUKUM & POLITIK
Putusan MK dengan sifatnya yang final dan mengikat (final and binding) menjadikannya merupakan putusan yang terakhir dan tidak dapat dikoreksi melalui upaya hukum lain, serta dengan sıfat Putusan yang memberikan kewenangan kepada pembuat UU yaitu Legislatif dan Pemerintah (open legal policy) sekaligus memposisikan putusan Lembaga Negara garda penjaga konstitusi tersebut mengharuskan dijadikan landasan untuk diperbaiki dan atau disusun norma hukum pada UU Pemilu yang disasarnya, agar norma yang terkandung didalamnya tidak bertentangan dengan UUD 1945 (prinsip hirarki peraturan perundangan).
Perbaikan sistem Pemilu (baca: perbaikan UU Pemilu) sebagai bagian sistem politik secara keseluruhan setidaknya juga terkait dengan perbaikan UU Partai Politik dan UU Pilkada (Putusan MK: Pilkada adalah termasuk rezim Pemilu), bahkan selayaknya juga menjadi satu tarikan nafas perbaikan seluruh paket UU Politik karena satu dengan lainnya saling berkaitan proses dan output-nya. Oleh karenanya, Putusan MK tentang penghapusan Presidential Threshold ini adalah sebagai langkah awal dan menjadi entryway bagi hadirnya perbaikan sistem politik Indonesia melalui perubahan UU sebagai landasan hukumnya.
Tentu saja momentum ini sepatutnya dapat “mendorong” seluruh elemen bangsa melakukan “open minded” dalam ruang dialektika yang hangat dan bertanggungjawab bagi kemajuan demokrasi dan sistem politik kita lebih baik selaras, senafas, yang bertujuan sama untuk mewujudkan tujuan Negara kita. Berbagai persoalan demokrasi yang kita “temukan” selama proses dan perjalanan demokrasi, dievaluasi, kita ambil serta perbandingkan antara manfaat dan mudharatnya serta disesuaikan dengan tipikal dan jatidiri bangsa, baik itu persoalan yang berkaitan politik biaya tinggi (high cost politic), moral hazard politik masyarakat yang terkontaminasi pragmatisme politik, profesionalisme dan indepensi penyelenggara, netralitas dan profesionalisme aparat dan banyak hal lain yang kita temukan dari penyelenggaraan proses politik kita. Disisi lain prasyarat berlakunya demokrasi yang baiknya juga senantiasa kita terus tingkatkan dan perbaiki, diantaranya tentang kesejahteraan dan pendidikan masyarakat, serta kokoh dan tegaknya hukum.
Langkah menuju perbaikan sistem politik telah dimulai melalui Putusan penghapusan Presidential threshold dengan memberikan kewenangan kepada pembuat UU untuk memperbaiki norma-norma yang akan dihadirkan pada perbaikan UU bidang politik yang tentu saja bermuara pada perbaikan sistem politik kita, langkah ini merupakan rekayasa hukum dan sistem politik untuk memperbaiki sistem politik yang tentu saja diharapkan menghasilkan output yang lebih baik dari sebuah proses politik yang terbangun dari sistem politik yang semakin baik. Dengan demikian maka dapat kita katakan hadirnya Putusan penghapusan Presidential threshold ini sebagai tanda “kik-off” dimulainya langkah perbaikan UU politik menuju sistem politik dan demokrasi Indonesia yang lebih baik. /seno
Red