Membangun Bali yang Adil dan Makmur Bersama Murdaning Jagad
Penulis : JM Ageng Dr.Ir. I Ketut Puspa Adnyana, MTP.
BALI,jnnews.co.id I Bali terkenal karena potensi dirinya. Menjadi terkenal karena ada yang mengekplor dan publis. Karanenya, Kebudayaan Bali menarik perhatian banyak sarjana Barat. Misalnya Miguel Covarrubias di tahun 30an, dan Cliffort Gerzt di tahun 50an. Yang membuat Bali terkenal. Orang Amerika terobsesi untuk mendatangi Bali. Bali kemudian dikenal dengan “Island of Paradise”, bahkan sampai sekarang. Pulau Dewata. Dan belakangan Geoffrey Robinson dengan bukunya “The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali.” Ketiga sarjana tersebut menaraskan tentang Bali, termasuk kepemimpinan pra kemerdeakaan, pasca kemerdekaan dan pasca G30S PKI.
Ketangguhan Manusia Bali
Pernah berkuasa seorang raja yang dapat memajukan Bali, yaitu Raja Udayana dan permaisurinya dari Jawa Putri Mahenderadatta. Pasangan raja ini mempunyai tiga orang anak, yang terkenal adalah Airlangga Dewa, yang menjadi raja Jawa dan adiknya Anak Wungsu menjadi raja Bali. Sungguh unik, kenapa peranakan Bali-Jawa ini berhasil menjadi raja di Jawa, tentu bukan karena keberuntungan saja, tetapi ia memiliki separoh darah ningrat Jawa. Juga ada kisah Tumenggung Wirongeoro, anak Bali yang menjadi raja di negeri Pasuruhan. Lain lagi Senapati Kebo-Iwa. Ini membuktikan dahulu ada orang bali yang gagah perkasa. Namun di Bali nama Raja Airlangga tidak dipakai sebagai nama Universitas, bahkan jarang disebutkan.
Mengapa orang Bali saat itu Tangguh? Pastilah karena kompetensinya. Sang Kakek memandang cucunya itulah, Airlangga Dewa yang patut memimpin. Bukankah seharusnya sebagai Putra Mahkota Bali, ia menjadi Raja Bali menggantikan ayahandanya Raja Udayana. Ini tentu tidak penting, yang penting adalah semangat dan tentu saja keunggulan manusia Bali saat itu.
Raja-Raja Kecil saling bertingkai
Selanjutnya ketika majapahit berkuasa di Nusantara, Bali “runtuh” dan takluk dibawah kekuasaan Majapahit. Anak buah Senapati Gajahmada yang ikut ke Bali, kemudin memperoleh kehormatan wilayah, menjadi raja kecil dibawah Raja Diraja Klungkung. Wilayah kadipaten inilah kemudian menjadi Kabupaten dan Kota sampai sekarang. Namun kedelapan kadipaten tersebut, nyatanya tidak pernah akur sepulang Gajah Mada, sampai ditunjuk seorang Patih Wreda yang kemudian ditunjuk menjadi raja Gelgel. Apa maknanya, kebehasilan Bali sesaat karena mendapar restu Murdaning Majapahit atau Nusantara. Nampaknya di masa lalu keberhasilan Bali tergantung pada Jawa.
Pilkada Serentak 27 November 2024
Pastilah warga Bali yang cerdas akan tertawa mendengar bila ada orang yang mengingat-ingat lagi masa lalu, feodalisme. Rasanya sih tidak terlalu buruk. Terbentunya Kabupaten Kota dan Provinsi Bali karena sejarah kerajaan-kerajaan di Bali. Namun belajar dari masa lalu juga ada bagusnya (“Jasmerah”, Kata Bung Karno). Ada apa dengan Pilkada Serentak Bali sedikit hari ini (27 November 2024)? Jawabannya kunjungan Bapak Prabowo Subianto, Presiden RI, yang dapat disebut sebagai “Murdaning Nusantara”. Semua wilayah di NKRI sedang menunggu “restu” dan dukungan Sang Mudaning Jagad.
Masyarakat Bali sangat taat dan tunduk pada rajanya di masa lalu. Sisanya masih terasa saat ini. Sampai sekarang orang masih banyak menyebut dengan kata “cokorda”, “ratu aji”, dan sebutan lainnya yang bermakna tunduk dan hormat.
Presiden Indonesia Bapak Prabowo sudah berjanji akan membangun Bali. Menjadikan Bali seperti Singapura. Menjadikan Bali seperti Hongkong. Perhatikan kata “seperti”, artinya memilih yang baik untuk Bali, karena baik Singapura dan Hong Kong juga memiliki keburukannya sendiri. Bapak Presiden juga berjanji akan membangun Bandara Internasional Bali Utara (saya sebut Bandara Denbukit), yang beberapa waktu lalu ditolah oleh Ibu Megawati, putri Proklamator RI. Hanya orang yang kurang memahami dengan baik arti konektivitas akan menolak pembangunan Bandara Denbukit ini. Hanya orang yang “kuper” menolak pembangunan Bali “seperti” Singapura, “seperti” Hong Kong. Bagaimana cara menolak?, wong yang mau Murdaning Jagad Nusantara. Apa punya Kuasa? Apa masyarakat adat Bali lupa “dosa” menentang Raja? Yang jelas, tidak patuh pada Raja, berakibat tidak baik. Perlu proposal pembangunan yang baik.
Sinergitas Pusat-Daerah, Proposal yang Baik.
Berdasarkan Permendagri ada 12 Kompetensi Pemerintahan Dalam Negeri, salah satunya adalah Hubungan-Pusat Daerah dan Keuangan Pusat-Daerah. Orang atau warga negara terbodoh di negeri ini pastilah paham apa artinya idiom tersebut. Pusat pastilah Presiden dan Daerah adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Siapa yang membuat kebijakan dalam membangun negara ini? Semua warga negara juga tahu jawabannya: Pemerintah Pusat. Apakah hubungan baik antara Pusat dan Daerah berarti juga anggaran atau keuangan daerah akan lebih banyak? Jawabannya: YA. Kebenruntungan Bali saat ini karena ada “Janji” Sang Murdaning Jagad. Atau dalam Bahasa gaulnya, Bali sedang “dipinang” oleh pusat. Tapi jawabannya bisa juga: TIDAK, bila warga Bali tidak menyiapkan “proposal” yang baik dan mengkomunikasikan dengan baik pula. Artinya perlu “dikejar” dengan dokumen yang baik: FS, Amdal, dukungan warga dan masyarakat adat Bali.
Bila raja-raja Bali sudah berkumpul di Bali Utara dan setuju atas pembangunan Bali Utara, khususnya Bandara Internasional Bali Utara (baca Denbukit), sudah sejalan dengan kemauan Muradaning jagad. Muradaning kecil sejalan dengan Murdaning Besar. Adakah yang lebih baik dari ini?
Bali Membutuhkan Pemimpin Yang Membangun
Bali selalu unik, bukan karena budayanya saja, tetapi juga politik. Geoffrey Robinson, lewat bukunya itu, menggabarkan dengan baik politik orang Bali, yakni sentiemen pribadi bisa menjadi ajang politik yang berakibat pada genosida. Ia menggambarkan kisah G30S PKI di Bali, sebuah penelitian yang jujur. Berbeda dengan Cliffort Gerzt terkagum-kagum serta memuji kejujuran orang Bali. Ia menggambarkan tertibnya permainan “Sabung Ayam”. Tidak ada satupun orang protes atas kekalahannya. Kenapa aspek baik dari sabung ayam ini tidak menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari saat ini. Demikian juga makna “barung gong” yang sangat memuliakan martabat manusia? Namun yang dikembangkan justru “suryak siyu”, artinya kebenaran itu meniru menteri luar negeri nya. Mao Zedong, yang bernama Chou En Lay asal berbicara dan yang penting bersorak. Strategi untuk melawan orang terlalu “pintar”.
Di awal kemerdekaan, pada saat Bapak Soekarno menjadi Murdaing Jagad Indonesia, yang murdaning Bali dari “kasta”Kesatrya. Berganti juga sama dan kemudian dari “kasta” Brahmana, lalu lagi dari “kasta” Kesatrya. Lalu dua tarakhir dari golongan “jaba”. Ini menandakan masyarakat Bali sudah “move on”, bersedia berbenah diri dari tradisional-feodalism menuju ke modernitas-visionerism (futurism).
Apa maksudnya? Artinya warga Bali sudah dapat memberikan nilai dari hasil penilaiannya dari kepemimpinan “Catur Wangsa”. Bali begitu-begitu saja. Misalnya demo besar Reklamasi Padang Galak, Bali Nirwana Resot bahkan terakhir demo Masyarakat Adat pada Reklamasi Teluk Benua, yang hasilnya banyak meluluskan Magister dan doctor, namun kondisi masyarakat Bali “amontoan” saja, tidak ada perkembangan yang signifikan, meskipun hasil pembangunan ada. Kemiskinan masih tinggi. Juara satu di NKRI Bunuh diri, juara tiga ODGJ (gila benaran) dan perceraian dan masalah ODGJ (bule benaran) yang memporak-porandakan “hati” masyarakat adat Bali. Yang terakhir viral defisit anggaran dan hibah bukan uang pribadi, yang merupakan kesadaran baru warga Bali yang semakin melek terhatap tata kelola keuangan. Bahkan mungkin mengenai korupsi, entahlah!
Karenanya Bali membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan menjaga Hubungan Pusat-Daerah dan mengerti apa yang dilakukan terkait dengan Keuangan Pusat Daerah, yang mana otoritas itu ada pada Sang Murdaning Jagad, yang berjanji membangun Bali.
Penutup
Bali menjadi baik atau berhasil, Bali menjadi buruk atau gagal tergantung warga Bali (krame nuwed) yang akan memilih pemimpinnya, yang datanya sudah sangat jelas. Bukan oleh orang Bali Migran (krama tamiu), diaspora Bali, yang tidak memiliki kartu pilih di Bali.
Semoga Bali semakin baik nantinya. Rahayu.
Editor : Putu Gede Sudiatmika.