Lampung Utara, (Jnnews) | Puluhan mahasiswa mendesak Rektor Universitas Muhammadiyah Kotabumi (Umko) segera memecat oknum dosen berinisial RD yang diduga melakukan pelanggaran berat. Isu pertikaian antara mahasiswa dan dosen baru-baru ini mencuat hingga menuai kontroversi baru dunia pendidikan.
Tidak segan-segan, para mahasiswa tersebut melayangkan petisi mosi tidak percaya yang ditujukan kepada Rektor. Padahal dari delapan poin dalam petisi itu tidak terdapat unsur pelanggaran berat.
Lantas pelanggaran berat seperti apa?
Menurut uraian poin-poin pada petisi yang dilayangkan kepada Rektor menyebutkan pembelian Pakaian Dinas Harian (Pdh) mahasiswa senilai Rp235 ribu. Kemudian perihal pembelian buku sebesar Rp100 ribu, permintaan klarifikasi mahasiswa, masalah sembako, token listrik, tidak memberikan masa sanggah untuk perbaikan nilai dan penawaran pembelian buku hasil karya dosen itu sendiri.
Uraian poin-poin pada petisi itu tidak begitu menjadi masalah yang ‘krusial’ di dunia kampus. Apalagi hingga mendesak Rektor memecat oknum dosen tersebut. Terkecuali melakukan pelanggaran tindak pidana yang mengarah terhadap hukum berlaku.
Seperti membeli Pdh Rp235 ribu. Seharusnya jika mahasiswa merasa keberatan tidak perlu membeli. Seorang sumber membeberkan jika pembelian Pdh melalui kesepakatan bersama tanpa adanya unsur paksaan dan memesan disalah satu konveksi di Bandung, Jawa Barat.
“Wajar jika ditetapkan harga sebesar Rp235 ribu karena dibebankan ongkos kirim dan proteksi kerusakan barang saat pengiriman,” beber sumber, Kamis (21/03/2024).
Terkait pembelian buku senilai Rp100 ribu, nominal ini tidak menjadi persoalan sejumlah mahasiswa-mahasiswa lain dikampus, bahkan dinilai lumrah bagi sebuah ilmu. Informasi yang didapat, pembelian buku tersebut sebagai bahan ajar mata kuliah mendekati ujian akhir semester. Sumber menyebut jika oknum dosen yang tengah diserang itu tidak pernah membeli buku online shop (olsop) melainkan dipenerbit langsung.
Sumber lain berujar permintaan klarifikasi mahasiswa didasari oleh kroscek harga Pdh. Mulanya mahasiswa yang bersangkutan bergerak melakukan investigasi harga Pdh pada prodi-prodi yang ada di kampus.
“Dilakukan semacam perbandingan. Namun terkesan menyerang secara personal. Bahkan menjadi masalah di prodi sendiri. Nah, dosen ini (oknum-red) meminta si mahasiswa ini klarifikasi kepada Kaprodi bahwa semua penilaiannya tidak benar,” cetusnya.
Dilanjutkan dengan masalah sembako. Persoalan ini pun diduga sengaja direkayasa seolah-olah dipaksa membawa sembako untuk memenuhi persyaratan nilai mata kuliah. Faktanya, tidak ada unsur paksaan dari oknum dosen kepada mahasiswanya.
“Jelas, ada buktinya. Mahasiswa-mahasiswa itu yang menawarkan sembako kepadanya. Bukan kemauan beliau (oknum-red),” kilah sumber.
Poin menohok seperti pembelian token listrik menjadi topik menarik untuk dibahas. Selain terjadi di eksternal kampus, poin tersebut dinilai tidak layak masuk dalam sebuah petisi. Sumber menerangkan terdapat beberapa mahasiswa yang tinggal bersama oknum dosen tersebut tanpa dipungut biaya alias gratis.
“Mereka itu (mahasiswa) makan gratis hingga dapat tempat tinggal gratis. Tapi herannya kok ikut-ikutan dalam petisi itu. Urunan token listrik juga melalui kesepakatan bersama karena tidak mau terlalu membebankan dia (dosen-red),” terang dia.
Kemudian itu tidak memberikan masa sanggah untuk perbaikan nilai, ini juga dipersoalkan puluhan mahasiswa yang terlibat dalam petisi tersebut. Rata-rata tidak lulus mata kuliah.
“Tidak lulus kok protes. Bagaimana kuliah dikampus besar berstatus negeri yang memperoleh nilai C+ saja Alhamdulillah banget,” ujar sumber.
Terakhir penawaran pembelian buku hasil karyanya (dosen-red). Menurut sumber, buku tersebut sebagai pengganti podcast setelah para mahasiswa menyatakan tidak sanggup menyelesaikan tugas.
“Itu permintaan mahasiswa yang tidak sanggup podcast. Bahkan banyak yang belum bayar. Tapi tidak dipermasalahkan,” tukasnya.
Beberapa sumber menduga kasus tersebut dilatarbelakangi oleh dendam pribadi para mahasiswa. Lebih dari itu, terdapat dugaan oknum yang mencoba meminta sejumlah uang mengatasnamakan petisi dan pengurus organisasi internal kampus.
Rektor cepat mengutus pihaknya membentuk tim kode etik. Saat ini RD tengah menjalani proses sidang etik dosen untuk membuktikan pelanggaran yang telah dilakukannya. /sn
red