MENGUJI CHECK AND BALANCE DARI VONIS RINGAN MOEIS
Dr. Wendy Melfa
Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL)
Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem)
VONIS SUMRINGAH
Ada senyum sumringah dari Harvey Moeis (terdakwa dalam perkara korupsi 300,003 Triliun) ketika dısalamı istri dan keluarga dekatnya sesaat setelah Majelis Hakim Tipikor yang memeriksa dan memutus perkara membacakan vonis hakim dalam Putusanya yang berbunyi menghukum pidana dengan penjara selama 6,5 tahun, denda 1 Milyar dalam perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah İzin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk 2015 – 2022 dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ibarat dua sisi mata uang, dibalik senyum sumringah moeis tersebut, pada sisi lainnya ada rasa keadilan masyarakat yang terusik dengan vonis Majelis Hakim (MH) yang meskipun menilai dan memutus kerugian negara sejumlah Rp. 300,003 triliun terbukti, ternyata MH menghukum Harvey Moeis (HM) dkk lebih ringan daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut 12 Tahun penjara. Sontak berbagai ekspresi dari berbagai kalangan masyarakat melalui aksi-aksi teatrikal, protes melalui berbagai media sosial, dalam forum-forum kajian, dan lain-lain dihadirkan sebagai bentuk ke tidak puasan dan terusiknya rasa keadilan masyarakat. Sementara diketahui bahwa proses hukum atas pemeriksaan dan memutus perkara korupsi tersebut menjadi merupakan lapangan MH yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, bebas dan merdeka, dan untuk itu dijamin oleh Konstitusi dan peraturan perundangan kita, mekanisme hukum yang dapat menguji putusan MH tersebut adalah melalui pemeriksaan perkara tersebut pada tingkatan upaya hukum diatasnya yaitu pada pemeriksaan Banding pada Pengadilan Tinggi dan juga Kasasi pada Mahkamah Agung, demikian mekanisme hukum beracara pemeriksaan perkara yang diatur oleh hukum kita dalam perspektif hukum memenuhi keadilan prosedural.
NEGARA MEMBERIKAN KEADILAN SUBSTANTIF
Bangsa kita pernah punya pengalaman ketika era pemerintahan begitu absolut dalam menentukan perjalanan bangsa dengan sistem bernegara yang menghasilkan pemerintahan yang otoriter hingga tidak terdapat ruang yang cukup ketika itu bagi masyarakat untuk mendapatkan rasa keadilan substantif, untuk itulah salah satu yang melatarbelakangi hadirnya gerakan reformasi ’98 yang menghadirkan perubahan sistem ketatanegaraan “baru” Indonesia pasca empat kali Amandemen UUD 1945 tanpa tercerabut dari idiologi dan fundamental berdirinya Indonesia sebagai Bangsa yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, kehidupan bansa Indonesia saat ini tertata sebagai sebuah bangsa yang menjalankan pemerintahan dengan sistem Presidensial dengan prinsip-prinsip check and balance antara pilar utama kekuasaan Eksekutif (Presiden) – Legislatif (DPR) – Yudikatif (MA), serta lembaga-lembaga Negara turunan fungsi lainnya yang ditempatkan sejajar sebagai lembaga Negara, dan dengan merubah status kelembagaan MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Negara yang sejajar dengan Lembaga Negara lainnya.
Melalui vonis Moeis dalam perkara korupsi Timah 300 T ini, sesungguhnya kita bisa menguji apakah mekanisme ketatanegaraan check and balance kita dapat berjalan, utamanya ketika rasa keadilan masyarakat terusik, kita dapat memeriksanya dari “koreksi dan keseimbangan” yang dihadirkan oleh lembaga-lembaga Negara untuk memenuhi rasa keadilan substantif masyakatnya. Pada pilar eksekutif, Presiden sebagai pimpinan tertinggi kelembagaan eksekutif dapat memerintahkan (fungsi pimpinan adalah mengatur dan memerintah) Jaksa Agung (JA) yang menjalankan kekuasaan eksektutif dalam bidang penegakan hukum untuk mendorong agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan upaya hukum (Banding dan Kasasi) untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, serta disisi lain memerintahkan dilakukan eksaminasi terhadap JPU dan atasannya yang memberikan persetujuan atas terlalu ringannya tuntutan JPU yang hanya 12 tahun penjara, bukankah JPU bisa menuntut lebih dari itu (pidana maksimal 20 tahun penjara, seumur hidup, atau bahkan hukuman mati), patut juga dipertanyakan dan dikoreksi kenapa dalam perkara korupsi 300 T hanya dituntut 12 tahun penjara ?.
Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) sebagai Lembaga Negara yang menangani lapangan eksekutif dalam bidang penegakkan hukum, baik diminta atau tidak diminta oleh Presiden, juga dapat memberikan “atensi”, apakah ada indikasi praktik-praktik korupsi dalam penangan perkara ini yang patut diduga oleh penyelenggara Negara yang dapat merugikan Negara dan terusiknya rasa keadilan masyarakat. Kita patut sedikit bergembira karena melalui pidatonya, Presiden Prabowo Subianto sudah memberikan “atensi” dan “sentilan” kepada JA dan Kemanterian yang mengurusi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang kelak menjadi tempat terpidana menjalankan hukumannya untuk jangan ada privilage memberikan keistimewaan di Lapas.
Pada pilar legislatif, dengan menjalankan fungsi pengawasannya DPR dapat “memeriksa” dengan memanggil JA dalam mekanisme rapat dengar pendapat (RDP) dalam suatu forum yang terbuka yang bisa diakses oleh publik hingga bisa diketahui alasan-alasan JPU melalui JA yang “hanya” menuntut Moeis 12 tahun penjara dalam perkara korupsi 300 T, serta langkah-langkah apa yang dilakukan JA dalam mensikapi vonis ringan Moeis 6,5 tahun, hal ini penting untuk menjawab rasa keadilan masyarakat yang terusik. DPR juga dapat menghadirkan Komisi Judicial (KJ) untuk juga didengar apakah ada langkah KJ melakukan “klarifikasi” kepada MH yang memeriksa dan memutus perkara korupsi 300 T ini. Dan publik akan menunggu “rekomendasi” apa yang diterbitkan oleh DPR dalam memenuhi rasa keadilan masyarakat tersebut.
Pada pilar Yudikatif, Mahkamah Agung (MA) sebagai “rumah pembinaan” dapat melakukan langkah-langkah pembinaan ke professional MH dalam memeriksan dan memutus perkara ini meskipun bukan dalam kerangka mengintervensi kekuasaan dan independensi kemerdekaan MH. UU memang membatasi dalam kerangka memberikan jaminan dan kemerdekaan MH dalam memeriksa dan memutus perkara yang ditanganinya untuk tidak memberikan komentar atau tanggapan atas perkara tersebut di luar persidangan. Langkah-langkah seperti ini penting dilakukan agar menjadi warning bagi hakim-hakim lainnya sebagai penegak hukum bahwa ada mekanisme kontrol terhadap prilaku hakim baik di dalam maupun di luar persidangan.
Komisi Yudisial sebagai Lembaga Kenegaraan lainya, juga dapat “menghadirkan” para MH yang memeriksa dan memutus perkara korupsi 300 T untuk juga “diperiksa” tentang apakah ada ketidak professionalan MH dalam menjalankan pekerjaannya, dan bila ditemukan, maka akan memberikan rekomendasi sanksi atas tindakan ketidak professionalan tersebut.
Hadir dan bekerjanya Lembaga-Lembaga Negara secara profesional dan sesuai dengan peruntukan kehadirannya adalah bukan saja untuk “mem-framming” bekerjanya sistem hukum yang responsif (Nonet-Selznick) tetapi juga sebagai upaya kita sebagai sebuah bangsa untuk mewujudkan tujuan bernegara, yaitu mewujudkan rasa Keadilan Sosial Bagi Seluruh Bangsa Indonesia, keadilan substantif bagi kita semua, untuk itulah amanah telah diberikan dari rakyat melalui Kedaulatannya membangun bangsa yang Baldatun Thayyibatun warrabun Ghofuur. /seno
Red