Jakarta, (Jnnews) || Restorative Justice (RJ) semakin menguatkan fungsi Pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana bagi narapidana Anak dan dewasa. Hal ini disampaikan oleh Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Direktorat Jenderal Pemasyatakatan (Ditjenpas), Pujo Harinto, dalam seminar bertajuk Pengembangan Kebijakan Kelembagaan Keadilan Restoratif, Rabu (6/7/2022).
“Selain pada sistem pidana dewasa, RJ juga diterapkan pada Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA),” jelas Pujo.
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, fungsi Pemasyarakatan meliputi pembinaan, pembimbingan, pengawasan, perawatan, serta pendampingan selama proses pelaksanaan pidana. Untuk pidana Anak, SPPA yang meliputi beberapa hal, antara lain penyidikan dan penuntutan pidana Anak, persidangan Anak, serta pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan.
“RJ dilaksanakan sesuai tujuan Pemasyarakatan, yakni pemulihan hubungan antara pelaku dan korban serta memenuhi hak keadilan bagi korban,” imbuh Pujo.
Lebih lanjut, RJ juga merupakan solusi untuk masalah over kapasitas yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hal ini juga membantu dalam penghematan anggaran, misalnya pengehematan penyediaan bahan makanan. RJ juga dipandang serius dan masuk dalam prioritas Kementerian/Lembaga antara lain Piloting RJ, Griya Abhipraya, dan Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan.
“Untuk tahun 2022 targetnya yakni menyusun keputusan bersama dengan melibatkan pihak lain, antara lain Kepolisian Republik Indonesia, Badan Narkotika Nasional, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Kementerian Dalam Negeri,” ujarnya lagi.
Namun demikian, masih terdapat hambatan yakni belum adanya payung hukum bersama tentang RJ. Adapun RJ dalam proses Pemasyarakatan, dapat dijabarkan mulai dari pra-ajudikasi, ajudikasi, dan post-ajudikasi. Muaranya yakni mengurangi overcrowded.
Senada dengan Pujo, Collie Brown selaku United Nations Office on Drugs and Crime Country Manager Indonesia mengatakan bahwa RJ merupakan solusi dan sarana resolusi bagi korban dan pelaku. “Kita perlu memastikan pelaku pelanggaran untuk bertanggungjawab atas perlakuannya dengan menggunakan outcome lain, misalnya menanggung biaya rehabilitasi dan lain sebagainya. Hal ini mendorong adanya perbaikan setelah terjadi pelanggaran,” jelas Collie lebih lanjut.
Program Director of Democrazy, Justice Governance and Regionalization Kemitraan, Rifqi Assegaf menilai RJ merupakan upaya dan prosss untuk pemenuhan hak korban. “Konsep RJ di Indonesia dilaksanakan untuk memenuhi kepentingan korban, sehingga di akhir proses, ketidakseimbangan yang terjadi sebagai akibat dari tindak pidana yang terjadi dapat kembali seperti sediakala,” pungkasnya. /Sn
Red