![](https://jnnews.co.id/wp-content/uploads/2025/02/Screenshot_20250128_114512_Gallery-780x470.jpg)
![](https://jnnews.co.id/wp-content/uploads/2025/02/Screenshot_20250128_114512_Gallery-780x470.jpg)
Oleh : Dr. Wendy Melfa, S.H, M.H
(Akademisi UBL dan Penggiat Ruang Demokrasi/RuDem)
Lampung, (Jnnews) | AWAL YANG MEMBAHANA, Tenggat waktu 100 hari kerja, waktu yang secara konvensi “dianggap” dapat menggambarkan trend kearah mana pemerintahan yang baru terbentuk, kepemimpinan Presiden/ Wakil Presiden Prabowo – Gibran bersama Kabinet Merah Putih melalui program Asta Cita-nya, cenderung menggambarkan trend positif baik dari persepsi masyarakat yang diukur melalui survey menunjukkan angka 82,2 % kepuasan (The Republic Institute, detik.com), 72,5 % puas (KedaiKOPI, Tempo.co), meskipun juga masih ada harapan lain sebagaimana dinyatakan pengamat Teuku Riefky (LPEM FEB UI) yang menilai kinerja pemimpin baru Indonesia belum maksimal, dan banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan (www.voaindonesia.com), juga pakar UGM menilai belum berjalan efektif dan program yang dijalankan masih minim kejelasan perencanaan dan eksekusi (ugm.ac.id), namun secara umum approval rating persepsi masyarakat menunjukkan trend positif pada kinerja pemerintahan Prabowo – Gibran, dan ini menjadi “modal” politik untuk melakukan langkah-langkah besar mewujudkan efektifitas pemerintahannya.
Hadirnya Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2025, adalah salah satu kebijakan yang membahana pada 100 hari kerja awal pemerintahan Prabowo – Gibran, sebuah langkah terobosan sekaligus keberanian kepala Pemerintahan yang bukan saja di latarbelakangi kondisi perekonomian dan pendapatan pemerintah yang sedang mengalami penurunan, dengan cara mengevaluasi dan menata penggunaan belanja dan pelaksanaan keuangan negara, tetapi sekaligus langkah tersebut dapat sebagai upaya redesign performa penyelenggaraan pemerintahan dari pusat sampai kedaerah-daerah seluruh Nusantara sehingga diharapkan menjadi fatsun penyelenggaraan pemerintahan.
PERFORMA BIROKRASI : RUTIN MENJADI PEMBANGUNAN
Semangat hadirnya kebijakan Presiden melalui INPRES 1/ 2025 secara hukum penyelenggaraan pemerintahan dapat dijadikan landasan hukum untuk mengevaluasi dan penataan penggunaan anggaran keuangan negara dari pusat (APBN) sampai daerah (APBD) dengan cara “memangkas” anggaran sampai lebih 52 % terhadap kegiatan-kegiatan berupa studi banding dan kunjungan kerja ke luar negeri atau antar provinsi, rapat-rapat dengan menggunakan hotel, studi kelayakan yang kurang jelas sasarannya, belanja alat tulis kantor (ATK) yang berlebihan pada era digital dan paper less, kegiatan seremonial lainnya, yang keseluruhannya mencapai angka 603 triliun Rupiah yang kemudian besaran angka tersebut dialihkan untuk membiayai program-program unggulan yang diprioritaskan untuk sasaran dan dapat dirasakan manfaatnya langsung oleh rakyat.
Dalam diksi birokrasinya, hasil evaluasi anggaran sebesar 603 triliun Rupiah menghasilkan pengalihan penggunaan anggaran pemerintah, dari rencana belanja rutin menjadi rencana belanja pembangunan, dari rencana pembiayaan yang digunakan oleh dan sasarannya birokrasi, menjadi digunakan dan sasarannya program untuk rakyat.
Postur APBN dan APBD selama ini sering didapati bahwa belanja negara terkadang tersusun mencapai lebih dari 65 % dihabiskan untuk belanja rutin, dan sisanya untuk belanja pembangunan. Masih kita dapati pada APBN/D alokasi anggaran belanja pembangunan sangat minim, ada yang bahkan pemerintah daerah yang “rela” mengajukan “pinjaman” kepada lembaga donor untuk membiayai pembangunan phisik pada proyek-proyek besar yang skema pengembaliannya dengan cara diangsur pokok dan bunganya yang akan membebani APBN/D berikutnya, sementara anggaran yang tersedia pada APBN/D yang salah satu sumber pendapatannya dari pajak-pajak rakyat, justru banyak terserap oleh kegiatan-kegiatan dalam lingkup belanja rutin, sungguh rutinitas penggunaan anggaran yang kurang bermoral kebangsaan, mementingkan penggunaan anggaran Negara untuk kepentingan atau aktivitas birokrasi ketimbang kepentingan pembiayaan program dan pembangunan. Inilah salah satu langkah revolusioner Presiden Prabowo dalam evaluasi, dan menata penggunaan anggaran Negara yang didalamnya sarat dengan upaya menata mental birokrasi dari pusat sampai ke daerah untuk lebih memprioritaskan penggunaan anggaran program dan pembangunan yang manfaatnya bisa dirasakan rakyat, ketimbang membiayai birokrasi untuk kunjungan kerja, studi banding, belanja ATK, seremonial yang hanya dirasakan oleh birokrasi itu sendiri.
Pada era digitalisasi yang semakin canggih seperti sekarang ini, sesungguhnya kita sudah bisa mengakses informasi secara digital tanpa batas ke berbagai belahan dunia, dapat mengadakan rapat-rapat virtual secara lebih efektif dan murah, tanpa akomodasi hotel, ticket pesawat dan lainnya yang sumber pembiayaannya ada pada anggaran Negara.
KEKUATAN KESINAMBUNGAN
Indonesia pernah melakukan skema realokasi program dan anggaran pemerintah dalam penanganan pendemi covid-19 beberapa waktu yang lalu melalui apa yang disebut refokusing anggaran, dengan mengutamakan penggunaan anggaran Negara melalui APBN/D diperuntukan untuk program/ bantuan sosial dan penanggulangan kesehatan dengan memangkas rencana penggunaan anggaran yang tidak prioritas, faktanya kita berhasil, meskipun masih ada sedikit residu ekses adanya dugaan korupsi dan penyalahgunaan anggaran untuk pembiayaan refokusing tersebut. Melalui program refokusing pada era covid, birokrasi kita juga tidak ada kegiatan rutin seperti studi banding, rapat kerja, seremonial dan lainnya, bahkan birokrasi bekerja dengan work from home (WFH), birokrasi kita tetap tangguh dan bisa mengurusi birokrasi dan malayani Indonesia.
Revolusi mental birokrasi yang membahana pada awal Pemerintahan Prabowo – Gibran perlu mendapatkan “pengawalan” dari masyarakat agar performa birokrasi dan postur APBN/D Indonesia memvisualisasikan semangat dan performa yang mendukung program-program pro rakyat dan kebijakan ini diharapkan dilaksanakan secara konsisten dan sustainable agar terbangun sebuah role model baru performa birokrasi Indonesia yang tangguh dan melayani tetapi juga sekaligus tepat dan efisien dalam menggunakan anggaran keungan Negara yang salah satu sumbernya juga berdasar dari rakyat, dan sebesar-besarnya digunakan untuk rakyat. Kebijakan revolusi mental birokrasi ini juga juga akan membangun sumberdaya birokrasi Indonesia yang tangguh, sehingga dapat sebagai support system yang dapat ikut mendorong kesinambungan pembangunan dari pemerintahan sebelumnya yang memprioritaskan pembangunan infrastruktur dan kemudian diisi serta dilanjutkan oleh birokrasi yang tangguh dan melayani rakyat. /seno aji
Red