JAKARTA, (www.JNnews.co.id) | Pengakuan Mahfud MD bahwa Jokowi belum mengambil sikap walaupun mengetahui bahwa Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko diduga mengkudeta Agus Harimukti Yudhoyono (AHY), dinilai sangat menciderai demokrasi.
Demikian disampaikan oleh pengamat hukum politik Suta Widhya, SH kepada awak media, Jakarta, Jum’at (12/3/2021).
“Dalam ranah hukum membiarkan seseorang melakukan sebuah kejahatan
maka orang tersebut dapat dikatakan memberi kesempatan pada seseorang untuk melakukan kejahatan”, kata dia.
Menurut Suta sebaiknya Partai Demokrat harus menggunakan hak interplasi dan melakukan inisiatif Pemakzulan dengan cara membentuk pansus Pemakzulan, guna menegakkan Hukum dan Demokrasi.
Pengamat Hukum Politik yang juga Sekjen GAAS ini menilai tidak mungkin surat AHY tidak mendapat balasan, mengingat sudah lebih dari 44 hari kejadian isu kudeta yang dimanipulasi dengan kongkow-kongkow di Cafe Hotel dilaporkan oleh AHY ke Presiden RI selaku pimpinan eksekutif tertinggi di negeri ini.
“Hak Interplasi ini dimiliki oleh anggota DPR Partai Demokrat di Legislatif. Ini langkah Konstitusional. Sekaligus untuk membuktikan solidaritas, soliditas dan integritas anggota Partai Demokrat di DPR dan kepada konstituen yang memberikan suaranya”, lanjut Suta.
Hak Interpelasi untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak Interplasi adalah salah satu hak yang dimiliki anggota DPR yang dapat digunakan untuk meluruskan jalannya demokrasi Pancasila di negeri ini.
Bila Partai Demokrat tidak menggunakan hak interplasi sebagai alat kontrol kepada Pemerintah maupun pejabat Pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusi dan Undang-Undang, maka dirinya meragukan upaya AHY akan mencapai hasil optimal.
“Ia hanya akan terlihat seperti anak kecil yang menangis saat mainannya direbut orang lain. AHY perlu lebih berpikir _out of the box_ dalam hal ini. Ia mestinya lebih bijak membaca fenomena sosial politik saat ini selama rezim ini berkuasa,” tambah Suta.
Sebagai tolok-ukur peradaban dan kualitas anggota DPR dan sebagai wakil rakyat yang memegang hak Kedaulatan Rakyat.
Pengakuan Mahfud menandakan Jokowi mengetahui KLB Sibolangit tersebut, tapi tidak melakukan sikap Hukum padahal AHY sebelumnya sudah bersurat kepada Jokowi namun KLB tersebut tetap dilaksanakan. Ini jelas sebuah tindakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Seperti kita ketahui bersama, sebelumnya Moeldoko disebut-sebut ingin merebut kepemimpinan Partai Demokrat dan menjadikannya sebagai kendaraan politik pada Pemilu 2024. Ia juga disebut telah menemui sejumlah kader Partai Demokrat untuk menggalang kekuatan agar dapat menyelenggarakan kongres luar biasa.
Moeldoko membantah tudingan tersebut. Ia mengaku tak punya hak untuk mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat karena bukan bagian dari internal Partai Demokrat.
“Dengan ‘hanya _happy-happy saja’_ menurut kami Jokowi telah melanggar Hukum dan Perundangan. Jokowi diduga tidak membina demokrasi sehat di negeri ini, ia suka demokrasi kisruh. Maka itu perlu adanya Interplasi untuk menjelaskan dan posisi kedudukan hukum, apa perbuatan _’happy – happy Jokowi’_ tersebut merupakan pelanggaran hukum atau bukan dapat diuji di Pengadilan,” tutup Suta. (*)
Editor-Roy
Redaktur-
Top markotop