Warga Jimbaran Tuntut Pembebasan Tanah Adat yang Dikuasai PT
Warga Tanah Hak Milik 130 Orang Tuntut Pembebasan Lahan yang Dikuasai PT dan Terbelangkalai
![](https://jnnews.co.id/wp-content/uploads/2025/02/JImbaran-780x470.jpg)
![](https://jnnews.co.id/wp-content/uploads/2025/02/JImbaran-780x470.jpg)
DENPASAR,jnnews.co.id I Selama lebih dari tiga dekade, tanah yang semula menjadi hak milik 130 orang di Desa Adat Jimbaran telah terabaikan. Kini, sejumlah perusahaan terbatas (PT) menguasai tanah tersebut, dan kondisi lahan yang seharusnya menjadi hak masyarakat adat itu justru terbengkalai. Pada Senin, 3 Februari 2025, warga yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat Jimbaran atau Kepet Adat mengungkapkan keresahan mereka dengan menyampaikan aspirasi langsung kepada para wakil rakyat di Kantor Sekretariat DPRD Provinsi Bali.
I Wayan Bulat, S.H., yang mewakili Kelompok Penerima Mandat atau Kepet Adat Jimbaran, mengajukan gugatan perbuatan melanggar hukum (class action) terkait perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas lahan seluas 280 hektar di Jimbaran, Bali. Gugatan ini diajukan karena diduga ada penyalahgunaan wewenang dalam proses perpanjangan SHGB pada 2010, di mana sebagian besar lahan tersebut dibiarkan terlantar.
“Penyalahgunaan Surat Keputusan Presiden, Menteri, Gubernur Bali, dan pejabat lainnya terjadi karena lahan tersebut dijanjikan untuk sarana-prasarana kegiatan multilateral pada 2013, namun hingga kini, tidak ada pembangunan yang dilakukan di lokasi tersebut,”ujarnya.
I Wayan Bulat menyatakan bahwa perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas lahan seluas 280 hektar diduga dipaksakan, karena sebelumnya tanah tersebut telah ditetapkan sebagai tanah terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional. Menurutnya, tanah tersebut seharusnya dikembalikan kepada pemilik hak-hak lama, bukan malah diperpanjang SHGB-nya.
“Dapat kami sampaikan juga, bahwa kami sedang menempuh upaya hukum Perdata dan Pidana dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat,” jelasnya.
Melalui para Advokat dan Konsultan Hukum dari Kantor Hukum BKO, Perwakilan Kelompok Desa Adat Jimbaran menggugat sejumlah PT di Pengadilan Negeri Denpasar pada Senin, 3 Februari 2025, berdasarkan Surat Kuasa Khusus yang dikeluarkan pada 20 September 2024.
Kuasa Hukum Penggugat, I Nyoman Wirama, S.H., bersama tim kuasa hukum lainnya, menyatakan bahwa Sidang Perdana untuk perkara dengan Nomor 142/Pdt.G/2025/PN Dps akan digelar. Dalam gugatan ini, lima perwakilan kelompok masyarakat yang tergabung dalam Kepet Adat Jimbaran, antara lain kelompok Penyakap, Waris Penyakap, Pemilik Lama, Krama Desa Adat, dan Krama Subak, turut serta.
“Subak Abian merupakan salah satu kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali yang diakui dan dilindungi oleh Konstitusi Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,”tuturnya.
Dalam gugatan ini, lima perwakilan kelompok menggugat sejumlah PT dan instansi terkait. PT Jimbaran Hijau, yang berkedudukan di Perkantoran Griya Jimbaran Hub, Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, Bali, disebut sebagai Tergugat I. PT Citratama Selaras, yang berkedudukan di Jalan Hayam Wuruk nomor 6, Denpasar, Bali, sebagai Tergugat II. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali, yang beralamat di Jalan Tjok Agung Tresna, Denpasar, Bali, menjadi Tergugat III.
“PT Baruna Realty (Greenwoods Group) yang beralamat di Jakarta Selatan dan Kantor Pertanahan Kabupaten Badung yang berlokasi di Seminyak, Kuta, Badung, menjadi Tergugat IV dan Turut Tergugat,” jelasnya.
Wirama, menjelaskan bahwa gugatan ini berawal dari pembebasan lahan pada tahun 1994 yang dilakukan Pemerintah dengan alasan untuk kepentingan umum. Namun, proses pembebasan lahan tersebut dilakukan dengan cara kekerasan dan melibatkan aparat negara.
“Anehnya, pembebasan lahan yang awalnya diklaim untuk kepentingan umum ternyata dipergunakan untuk kepentingan bisnis pribadi,” urainya.
Lebih lanjut, I Nyoman Wirama mengungkapkan bahwa sejumlah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) diterbitkan atas lahan yang dibebaskan, di antaranya SHGB nomor 370/Jimbaran, 371/Jimbaran, 372/Jimbaran, dan lainnya.
Wirama menambahkan bahwa selain SHGB yang berhasil ditelusuri, masih ada dugaan SHGB lainnya yang belum ditemukan karena kemungkinan sudah ada turunan dan pecahannya. Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) tersebut diterbitkan atas nama PT Citratama Selaras, yang merupakan Tergugat II.
“Penerbitan SHGB ini diduga melibatkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali (Tergugat III), yang menyetujui penerbitan SHGB berdasarkan pelepasan hak dari Desa Adat dan Kelurahan,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa para Penggugat sudah menguasai lahan tersebut dengan itikad baik selama puluhan tahun, sehingga lahan tersebut seharusnya menjadi hak mereka, bukan hak Desa Adat atau Kelurahan. Selanjutnya, penguasaan yuridis lahan tersebut dialihkan oleh Tergugat II kepada PT Jimbaran Hijau, yang merupakan Tergugat I.
Wirama menjelaskan bahwa sebelum perpanjangan SHGB untuk KTT APEC, sebagian besar lahan seluas 280 hektar sudah ditetapkan sebagai lahan terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, setelah perpanjangan, sebagian besar lahan tetap terlantar dan tidak digunakan sesuai peruntukannya.
“Setelah SHGB diperpanjang untuk sarana prasarana KTT APEC, hingga kini lahan tersebut tetap kosong dan tidak ada fasilitas yang digunakan untuk keperluan KTT APEC 2013,”bebernya.
Ia juga menyoroti kerjasama PT Jimbaran Hijau dengan PT Baruna Realty dalam pengelolaan dan penjualan perumahan, yang semakin memperkuat dugaan bahwa lahan tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Meski penguasaan yuridis berada di Tergugat I dan II, penguasaan fisik sebagian besar lahan tetap dilakukan oleh Penggugat, meski mereka sering diusir dengan kekerasan.
“Pembebasan lahan yang dilakukan dengan kekerasan sejak 1997 dan diperpanjang secara melanggar hukum pada 2010 hingga 2013, dan hingga kini tidak digunakan untuk kepentingan umum, merupakan perbuatan melanggar hukum,”tegasnya.
Ia merujuk pada Poin Ketiga General Comment Nomor 7 tentang Hak atas Perumahan yang Layak, yang menyatakan bahwa penggusuran paksa adalah pemindahan individu atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka tempati tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Wirama menjelaskan bahwa perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) untuk lahan seluas 280 hektar dilakukan dengan dasar Surat Keputusan Presiden tentang Pembentukan Panitia KTT APEC dan SK Menteri Pariwisata sebagai Ketua Panitia APEC antara 2010 hingga 2013.
Ia merujuk pada Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Jika dilihat secara menyeluruh, penggusuran paksa ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang juga diperkuat dalam Poin Pertama Commission on Human Rights Resolution 1993/77, yang menyebut penggusuran paksa sebagai pelanggaran HAM berat,” tegasnya.
Wirama mengungkapkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pengadaan tanah dilakukan dengan memberi ganti kerugian yang adil dan layak kepada pihak yang berhak. Ganti kerugian dapat berupa uang, tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disetujui kedua pihak.
“Namun, penggusuran atau pembebasan lahan yang awalnya dikatakan untuk kepentingan umum, kemudian berubah untuk kepentingan pribadi segelintir pengusaha yang dekat dengan kekuasaan,” tambahnya.
Wirama menjelaskan bahwa terdapat unsur perbuatan melanggar hukum terkait penelantaran lahan, yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Aturan tersebut menyebutkan bahwa tanah yang diberikan haknya oleh negara harus digunakan dalam waktu tiga tahun.
“Dapat disimpulkan bahwa Tergugat memang benar menelantarkan lahan yang diberikan oleh negara kepada mereka,” tegasnya.
Ia juga merujuk pada Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menjelaskan mengenai daluwarsa, yaitu hak untuk memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari suatu perikatan setelah lewatnya waktu tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.
“Daluwarsa adalah sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan terpenuhinya syarat yang ditentukan dalam undang-undang,” jelasnya.
Wirama menjelaskan bahwa lahan yang sebelumnya dibebaskan dari warga pemilik haknya, namun tidak dimanfaatkan oleh perusahaan yang diberikan hak oleh negara, menyebabkan hak perusahaan atas lahan tersebut menjadi daluwarsa. Oleh karena itu, pemilik hak sebelumnya berhak untuk mendapatkan kembali hak atas tanah tersebut.
“Perbuatan melanggar hukum juga terkait dengan pendaftaran hak atas tanah, yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mengharuskan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum,” ujarnya.
Ia juga merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyebutkan bahwa seseorang bisa mendaftarkan tanah jika memenuhi syarat tertentu, seperti menguasai tanah lebih dari 20 tahun, beritikad baik, tidak ada keberatan dari pihak sekitar, dan tanah tidak dalam sengketa.
Lebih lanjut, Wirama mengutip Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah, yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum atas status tanah di Indonesia, termasuk memberikan perlindungan terhadap tanah adat dan memberi kesempatan bagi yang kehilangan hak tanahnya untuk mendapatkannya kembali.
Wirama menyatakan bahwa sengketa ini berkaitan dengan hak atas lahan antara Para Penggugat dan Tergugat, di mana Para Penggugat sebenarnya lebih berhak atas tanah tersebut.
“Karena ini adalah sengketa hak, seharusnya Pengadilan Negeri memutuskan perkara ini berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang relevan,” ujarnya.
Ia meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri Denpasar atau Majelis Hakim yang menangani perkara ini untuk mengabulkan gugatan Penggugat secara keseluruhan dan menyatakan bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melanggar hukum.
Wirama menyatakan bahwa Tergugat III dan Tergugat IV juga terlibat dalam perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II. Ia menegaskan bahwa Penggugat memiliki hak atas tanah yang kini telah terbit Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang diperpanjang dengan SK KTT APEC pada 2010 hingga 2013, namun tidak digunakan sesuai peruntukannya.
“SHGB yang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga wajib dikembalikan kepada Negara, Desa Adat, dan Pemilik Hak-Hak lama,” pungkasya.
Ia juga meminta agar putusan perkara ini dapat dijalankan meskipun Tergugat melakukan upaya hukum perlawanan, banding, kasasi, atau peninjauan kembali. I Nyoman Wirama mengajukan permohonan agar Tergugat I dan Tergugat II dihukum untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini, atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.
Editor : Putu Gede Sudiatmika.